Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Peradaban Manusia Seabad Mendatang

Kompas.com - 23/05/2020, 19:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Gemah ripah loh jinawi kan berarti; tenteram-makmur serta sangat subur tanahnya. Bilamana ibu pertiwi tak lagi dihormati, apatah lagi yang bisa kita karyakan?

Barangkali sebuah khazanah kebudayaan dari Bima ini bisa menjadi pelajaran berharga. Di sana mereka terbiasa ngaji ringa (ngaji dengar), ngaji eda (ngaji lihat), ngaji ruku (ngaji tingkah), ngaji rawi (ngaji laku), dan ngaji iu (ngaji rasa).

Anak-anak manusia memang belajar dari mendengar, melihat, merenung. Setelah itu kita mulai berbuat dan merasakan.

Momentum Lebaran pada tahun pandemi ini, setidaknya memantik kesadaran kita, betapa Nusaraya dihamparkan Tuhan dengan ciri surgawi yang dikabarkan kitab suci samawi—sebagaimana tersurat pula dalam lontara Amanat Galunggung:

"Na twah rampés dina urang, agamaning paré, mangsana jumarun, telu daun, mangsana dioywas, gedé paré, mangsana bulu irung, beukah, ta karah nunjuk langit, tanggah ta karah, kasép nangwa tu iya ngaranya, umeusi ta karah lagu tungkul, harayhay asak, tak karah candukur, ngarasa manéh kaeusi.

"Adapun amal yang sempurna pada diri kita adalah ilmu padi: pada saat bertunas (sebesar jarum), keluar tiga daun. Saat diangkat, tumbuh dewasa, keluar kuncup (seperti bulu hidung), mekar buah, ya menunjuk langit, ya menengadah; indah paras namanya. Setelah berisi tiba, saat mulai merunduk, menguning masak ya makin runduk, karena diri telah berisi."

Mengaji geliat China

Selain dalam diri kita telah mengalir deras sungai mitokondria dari surga, mesti juga kiranya kita amati apa yang sedang dikerjakan bangsa China sejauh ini. Mari kita menuju Pelabuhan Ningde, pesisir Fujian.

Sedari Zhejiang ke Guangdong, lebih dari 1.000 mil dari garis pantai, terdapat jutaan kandang yang mengambang di lautan. Para petani membudidaya ikan, udang, kepiting, lobster, kerang, dll, dengan memanfaatkan perairan terbuka. Waduk, sungai, dan danau, juga dipadat karya demi meningkatkan produk air mereka.

Diperkirakan total konsumsi makanan laut global tahunan adalah 144 juta ton. China adalah konsumen makanan laut terbesar. Menyumbang 45 persen dari total global dengan 65 juta ton, diikuti Uni Eropa (13 juta ton), Jepang (7,4 juta ton) Amerika Serikat (7,1 juta ton), dan India (4,8 juta ton).

China dan India memiliki populasi yang nyaris sama, tetapi konsumsi makanan lautnya 12 kali lipat dari India.

Dari 65 juta ton makanan laut yang dikonsumsi saban tahun di China, hanya 15 juta ton yang ditangkap, dan 50 juta ton lainnya berasal dari peternakan akuakultur.

Sementara 90 persen makanan laut di Jepang, masih berasal dari penangkapan. Berkat itulah orang-orang China bisa membeli makanan laut murah setiap hari.

Kini kita ke Nanxun. Ini adalah dataran banjir di sepanjang Sungai Yangtze, Danau Taihu, dan Sungai Qiantang. Sumber daya air tawar yang melimpah telah membawa banyak nutrisi ke hulu sungai, membuat daerah ini menjadi lahan penghasil ikan dan beras untuk 100an juta orang.

Inilah satu daerah dengan kepadatan populasi tertinggi di China. Mirip dengan dataran banjir Bangladesh, Benggala Barat, dan Saigon.

Tinimbang dataran banjir padat lainnya, orang China memilih memproduksi pertanian air yang bisa dijual dengan harga lebih tinggi. Di sini ada jutaan kolam ikan dan banyak pohon murbei ditanam di sekitarnya—untuk memelihara ulat sutra.

Selama 2000 tahun, orang China di daerah ini telah mengembangkan banyak ekosistem pertanian yang sangat kompleks dan berkelanjutan.

Siklus lingkungan yang paling terkenal adalah ikan-pohon sutra murbei. Para petani China telah mengeksploitasi ekosistem ikan, budidaya sutra selama dua alaf, tanpa mengetahui konsep "pembangunan berkelanjutan". Saat ini, hal itu berevolusi menjadi beberapa siklus "daur ulang" di tanah yang sama.

Guna memelihara lebih banyak ikan di kolam, mereka menggunakan aerator yang memompa udara ke dalam air—bertenaga surya. Teknik berkelanjutan kolam fotovoltaik ini disediakan para profesional dari pemerintah China setempat.

Dari titik ini, kita dapat memahami mengapa China dapat menghasilkan 84 persen sutra dunia, 66 persen ikan air tawar, dan tenaga surya menyumbang 25,8 persen dari total global. Di daerah pedesaan Zhejiang dan Jiangsu, orang makan ikan hampir setiap hari. Itulah rahasia kecerdasan otak mereka.

Siklus lingkungan kedua adalah budidaya akar teratai-ikan. Di beberapa kolam ikan, terdapat tananam sayuran secara bersamaan, dan yang paling umum adalah akar teratai. Produksi akar lotus tahunan China mencapai 11 juta ton. Menyumbang 90 persen dari total produksi dunia, dan 60 persen dari ekspor dunia. Siklus ekologis ketiga adalah minyak kanola-ikan, madu, dan kepiting.

Mereka juga menumbuhkan bunga rape (penghasil minyak rape/kanola) menggunakan prinsip yang sama.

Alih-alih menggunakan pupuk, saat musim dingin, para petani China menggali "lumpur nutrisi" dari dasar air dan menumpuknya di tepi sungai. Kemudian mereka menanam rape, atau taros di atas lumpur.

Setelah ribuan tahun budidaya berkelanjutan, lahan tersebut menjadi seperti pulau-pulau kecil berwarna hijau muda. Terletak di Duotian, Provinsi Jiangsu. Seperti di Bajo dan sekelumit wilayah Borneo, tidak ada jalan di sini. Anda harus naik perahu untuk melintasinya.

Karena ekosistem ini, China telah menjadi produsen minyak lobak nomor satu di dunia, dengan menyumbang produksi 22 persen dari total global.

Belum lagi industri peternakan lebah besar yang tumbuh subur di bunga-bunga rape China. Produksi madu mereka menopang 30 persen dari total yang dihasilkan dunia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com