Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Peradaban Manusia Seabad Mendatang

Kompas.com - 23/05/2020, 19:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEHIDUPAN normal kita sedang berubah dari tahun ini. Teknologi ambisius 6G yang dikembangkan China, begitu menjanjikan masa depan gilang gemilang. Bagi para penghela tali kekang dunia modern, jelas itu merupakan sebuah lompatan kuantum.

Negara Tirai Bambu yang kadung kalah cepat mengelola jaringan internet 5G, memilih jadi yang terdepan menggarap 6G. Proyek ini dapat menawarkan kecepatan hingga 1 terabyte per detik atau 8.000 gigabit per detik, lebih cepat dari 4G yang kini kita nikmati.

Percepatan ini akan membuka pintu bagi jenis penggunaan internet yang benar-benar anyar, dan merevolusi hubungan manusia dengan teknologi. Era 6G mampu menawarkan sudut pandang, cara pandang, jarak pandang, dan batas pandang baru antarmuka otak-komputer. Sangat mungkin suatu saat penggunaan perangkat internet bisa diakses melalui pikiran kita.

Sejak beberapa bulan lalu, saya malah sudah bisa berselancar di antariksa dengan teleskop yang ditanam dalam gawai.

Seiring jalan dengan fenomena itu, ekonomi berbasis digital pun kini sedang tumbuh melampaui presedennya. Nyaris semua sendi perekonomian kita, sudah dilebur dalam transaksi e-banking.

Kelahiran uang digital yang digalakkan di Davos, perlahan mendekati kenyataan. Tak perlu lagi berduyun-duyun masuk kantor. Cukup menyalakan WiFi. Maka pekerjaan pun beres seketika.

Ranah pendidikan pun tak mau ketinggalan lokomotif. Kelas tatap muka mulai tergantikan. Guru-murid tak perlu lagi bersua. Cukup duduk manis di depan layar. Kerjakan tugas. Kumpulkan matrikulasi nilai. Para sarjana pun siap diwisuda secara daring. Setelah itu, kami belum tahu apa yang kelak bisa mereka kerjakan untuk dunianya.

Lantas bagaimana dengan nasib agama? Ya setali tiga uang. Ketika kecil dulu, saya tak sempat berpikir jika di dalam masjid kelak akan terpasang kamera pengintai, televisi layar datar, dan penyejuk udara.

Mungkin suatu saat nanti, para maling harus meramu cara lebih jitu agar bisa mengambil hak mereka yang didepositokan dewan masjid dalam tromol.

Nampaknya pula, prasarana ibadah takkan lagi ramah pada bromocorah. Rumah tuhan tak pantas dikotori gundah gulana mereka yang durjana.

Dunia sedang bersalin rupa menyibak tabir Dunia Lama. Tinggal landas menuju peradaban model paling kiwari. Manusia yang gagap teknologi, berpotensi ketinggalan kereta di peron masa lalu.

Kini kita mesti bersinggungan dengan rekayasa genetika, nanoteknologi, tekno-humanisme, gelombang mikro, dominion gelap ultraviolet, dan dataisme.

Pranata hidup kita perlu ditimbang ulang, dikoreksi, diperbaharui. Itu jika kita tak ingin gigit jari sendiri.

Jalan raya tak lagi semrawut. Pasar hilang kumandang. Tawar menawar tinggal jadi legenda. Pertemuan secara fisik berganti piksel bercitra gambar.

Seratus tahun ke depan, konon keluarga manusia akan lebih bahagia. Waktu kita yang kadung dirampas kapitalisme ultraliberal, akan kembali pulang ke haribaan kemanusiaan. Betulkah demikian?

Sejatinya tak terlalu benar begitu. Soko guru kehidupan masih harus dipertahankan. Jika negara lain yang mesin ekonominya kian mengebul mengepulkan kapital, maka anak kandung Nusantara harus tetap mengembangkan sektor pangan. Sebab pada kenyataannya, negeri para pelaut tangguh ini, juga dihidupi petani ulung.

Warisan Galuh Agung

Jikalau pengambil kebijakan kita ingin tampil ke panggung kehormatan dunia sebagai bangsa mandiri, maka siapkanlah perangkat pendukung yang menaungi keluarga besar nelayan dan petani.

Mahasiswa fakultas pertanian tak usah lagi memberi penyuluhan berbusa. Toh tangan dan kaki mereka pun tak pernah berjela lumpur. Punggungnya belum lagi terbakar panas baskara.

Kota-kota kita jangan lagi menjual kue ekonomi yang basi. Janji palsu abad ke-20 sudah harus dihapuskan dari muka bumi.

Tengoklah Jepang. Basis kehidupan tradisional mereka tetap berjalan. Menyokong industri manufaktur yang meluncur bebas menembus batas benua.

Namun, Jepang mesti berkutat dengan generasi yang terputus. Angkatan kerja mereka didominasi para lansia. Sementara pemudanya sibuk menggalakkan antikemapanan. Paradoksal yang komikal. Indonesia jangan pula begitu rupa.

Para petani muda harus melanjutkan masa depan agraria bangsa kita. Anak-anak kampung tak perlu mengabdi ke pabrik, atawa jadi golongan kerah putih. Bertani, berkebun, bertambak, berlayarlah dengan semangat Negeri Bahari.

Jangan biarkan lahan pertanian berubah jadi kluster perumahan sekelompok orang kaya di kota.

Anak petani boleh sekolah tinggi di universitas agrikultur. Tapi jangan cuma tahu teori belaka. Turun pula ke sawah, ladang, atau huma. Anak nelayan pun demikianlah.

Jika tak demikian yang terjadi, gelar Zamrud di Timur, atau Sepotong Surga di Bumi yang disematkan bangsa dari Atas Angin kepada negeri ini, kelak hanya jadi arkaik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com