Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harga Gula Bisa di Bawah Rp 10.000 Per Kg Tanpa Impor, asalkan...

Kompas.com - 25/05/2020, 12:47 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Seolah jadi masalah klasik menahun, gula kembali jadi polemik. Selain langka di beberapa daerah, harga bahan pemanis ini juga melompat hingga Rp 17.000 per kg atau jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 12.500 per kg.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) merasa curiga dengan harga gula pasir yang tak kunjung turun, padahal impor gula sudah dilakukan. Dia menduga ada oknum atau mafia pangan yang berupaya memainkan harga demi mendapatkan keuntungan.

Jokowi juga mencurigai adanya permainan harga di pasaran. Untuk itu, Jokowi meminta kementerian terkait untuk mencari tahu penyebab tingginya harga dua komoditas tersebut.

Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Indonesia Soemitro Samadikoen mengatakan, masalah menahun gula sebenarnya cukup ironi di Indonesia. Mengingat negara ini pernah jadi eksportir sekaligus produsen gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba di era Hindia Belanda.

Baca juga: Tekan Harga Gula, PT RNI Adakan Operasi Pasar

Setelah merdeka, Indonesia mewarisi 179 pabrik gula (PG) dari swasta Belanda yang kemudian dikelola sejumlah BUMN perkebunan. Masalah mulai muncul ketika konsumsi gula semakin meningkat, tetapi tidak diimbangi dengan investasi pabrik gula baru maupun revitalisasi PG lama peninggalan Belanda.

Menurut dia, harga gula bisa ditekan jika biaya produksi bisa murah, terutama dalam kaitannya dengan tingkat rendemen PG. Masalahnya, rendemen tinggi sulit dicapai jika mengandalkan pabrik-pabrik gula tua peninggalan Belanda.

Sementara pabrik-pabrik gula baru, umumnya merupakan produsen gula rafinasi yang bahan bakunya (raw sugar) diimpor dari luar negeri.

"Orientasinya kalau mau swasembada gula atau bisa ekspor seperti zaman Belanda, naikkan rendemen, jangan terus bergantung impor. Rendemen pabrik-pabrik gula tua Belanda sekitar 6,5 sampai 7,5 persen," kata Soemitro kepada Kompas.com, Senin (25/5/2020).

Baca juga: Harga Gula Mahal, Ini Biang Keroknya Menurut KPPU

Rendemen tebu sendiri adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Bila dikatakan rendemen tebu 10 persen, artinya ialah bahwa dari 100 kg tebu yang digilingkan di pabrik gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kg.

Sementara rendemen pabrik gula BUMN, rata-rata berada di kisaran 7 persen. Artinya dari 100 kg tebu, menghasilkan sekitar 7 kilogram gula. Selain mesin, rendemen juga dipengaruhi kualitas tebu yang meliputi varietas bibit, pemeliharaan, pemupukan, dan sebagainya. 

"Kalau rendemen bisa 9 sampai 10 persen, harganya bisa di bawah Rp 12.000 per kg. Bahkan bisa di bawah Rp 10.000 jika rendemen bisa ditingkatkan lagi," ungkap Soemitro yang juga petani tebu asal Nganjuk ini.

 

Dia mencontohkan, harga gula di Thailand bisa murah karena tingkat rendemen pabrik gulanya mencapai 10 persen. Rendemen yang tinggi juga membuat keuntungan yang diterima petani tebu lebih tinggi sehingga bergairah untuk menanam tebu.

Saat ini, lanjutnya, luasan lahan tebu terus menyusut setiap tahun yang membuat PG milik BUMN tak bisa beroprasi maksimal. Para petani tebu kini banyak beralih menanam komoditas lain karena harga gula yang kurang menguntungkan.

Baca juga: 28.200 Ton Gula Asal India Akan Masuk Indonesia Pada Awal Juni 2020

"Kalau rendemen tinggi petani akan semangat menanam tebu. Itu tolonglah kalau mau swasembada, pabrik-pabrik gula Belanda itu direvitalisasi. Mesin sudah tua, masih pake ketel uap, bagaimana gula bisa murah produksinya," tuturnya.

Lanjut dia, kelangkaan dan tingginya harga gula juga terjadi karena kurangnya pengawasan. Selama ini memang tak ada pengawasan ketat peredaran gula pasir dari pabrik gula dan importir hingga sampai di pedagang pasar.

"Selama ini pengawasan hanya di importir atau pabrik gula. Misalnya importir datangkan gula, lalu setelah DO (delivery order) itu sudah tidak diawasi, siapa yang pegang DO, gulanya ke mana, siapa yang ambil, dijual berapa, itu tidak dikontrol," tutur Soemitro.

Pemerintah sendiri menetapkan harga gula dari importir dan pabrik gula dijual dengan harga tertinggi Rp 11.200 per kilogram. Kenyataannya, lantaran tanpa ada pengawasan ketat dalam distribusinya, harganya dikendalikan pemain besar di rantai pasok distribusi gula pasir.

Baca juga: Harga Gula Mahal, Ini Penyebabnya Menurut Buwas

"Ya benar sesuai perintah pemerintah harga DO Rp 11.200 per kilogram. Terus ke mana barangnya, itu yang tidak diawasi. Pemerintah sendiri kan menetapkan HET (harga eceran tertinggi) gula pasir itu Rp 12.000 per. Siapa yang kuasai gula, kan bisa ditelusuri," ujar dia.

Rantai distribusi gula yang tak transparan dan hanya dikendalikan sekelompok grup usaha ini yang membuat masalah harga gula selalu saja muncul.

Menurut perkiraan Soemitro, stok gula nasional sebenarnya cukup secara nasional. Apalagi, impor gula sudah masuk secara bertahap sejak beberapa waktu lalu, baik gula pasir maupun gula mentan (raw sugar).

Bahkan, pemerintah juga mengambil langkah merealokasi gula rafinasi sebanyak 99.000 ton ke pasar ritel modern dan tradisional. Namun tetap saja, harga gula pasir masih mahal.

"Impor memang awal tahun 2020 belum keluar, tapi sekarang sudah masuk. PTPN sudah dapat izin impornya, RNI sudah dapat, rafinasi juga sudah dapat, Bulog dapat kuota impor. Jadi bukan di stok gulanya, tapi ke mana gulanya," ucap Soemitro.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com