"Orientasinya kalau mau swasembada gula atau bisa ekspor seperti zaman Belanda, naikkan rendemen, jangan terus bergantung impor," ujar Soemitro.
Beberapa waktu, untuk menurunkan harga gula, pemerintah melonggarkan kebijakan dengan menginzinkan gula rafinasi masuk ke pasar.
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi sejatinya melarang gula rafinasi dijual di pasar eceran.
Baca juga: Harga Gula Mahal, Ini Penyebabnya Menurut Buwas
Produsen gula rafinasi juga dilarang menjual hasil produksinya ke distributor, pedagang pengecer, ataupun konsumen, tetapi langsung ke industri pengguna melalui kontrak kerja sama.
Akan tetapi, dengan alasan mengatasi kelangkaan dan menstabilkan harga, aturan itu dilanggar sendiri oleh pemerintah.
Pemerintah mengalokasikan 250.000 ton gula rafinasi untuk diolah menjadi gula konsumsi dan digelontorkan ke pasar. Sebanyak 99.000 ton di antaranya dijadwalkan mengalir ke ritel modern dan pasar tradisional mulai 29 April 2020.
Dikutip dari Harian Kompas, 23 Mei 2020, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan adanya indikasi praktik kartel untuk membatasi suplai dan memainkan harga gula beberapa bulan terakhir.
Menurut Komisioner KPPU, Guntur Saragih, ada indikasi harga gula dimainkan bersama oleh pelaku usaha, seperti pabrik gula besar dan perusahaan importir gula.
Baca juga: Buwas Desak Pedagang Gula Wajib Jual Gula Harga Sesuai HET
Ia menyoroti margin keuntungan yang cukup tinggi. Harga pokok produksinya terhitung rendah, yakni berkisar Rp 6.000 per kg, di pabrik yang paling efisien.
Berdasarkan kajian KPPU, pelaku usaha swasta yang memiliki kebun tebu sendiri dan pabrik yang efisien mampu memproduksi gula dengan harga pokok berkisar Rp 6.000-Rp 9.000 per kg. Demikian pula importir yang mengolah gula mentah menjadi gula konsumsi.
”Keuntungan mereka semakin signifikan dengan harga pasar yang sangat tinggi saat ini. Kalau dibandingkan dengan harga pasar saat ini yang mencapai Rp 17.500 per kg, marginnya bisa mencapai 190 persen,” kata Guntur.
Namun, kenyataannya harga gula tetap tinggi di pasaran dan terjadi merata di berbagai daerah. Indikasi ini menunjukkan para pemburu rente gula tidak bergerak sendiri, tetapi bekerja sama untuk membatasi suplai, kompetisi, dan menetapkan harga demi mengeruk keuntungan besar lewat penetapan harga eksesif.
”Ini yang sedang didalami, apakah di balik kenaikan harga gula ada pricing bersama-sama dari pelaku usaha? Modusnya masih kami dalami, tetapi indikasinya kuat karena harga masih sama-sama di atas HET, sementara pelaku usaha sudah mendapatkan harga yang cukup baik dengan kebijakan saat ini,” kata Guntur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.