JAKARTA, KOMPAS.com - Alih-alih mewujudkan mimpi swasembada gula yang digaungkan sejak Orde Baru, Indonesia malah terus menerus jadi importir gula. Tren impornya bahkan cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun.
Jangankan mengurangi impor, polemik gula yang rutin setiap tahun saja sulit teratasi. Pasokannya yang seringkali langka, hingga harganya yang melampung tinggi di tingkat pedagang.
Tahun 2014 impor gula tercatat sebesar 2,93 juta ton, lalu pada tahun 2015 naik menjadi 3,36 juta ton. Tren kenaikan impor terus berlanjut yakni tahun 2016 impornya sebesar 4,74 juta ton, tahun 2017 sebesar 4,47 juta ton, tahun 2018 sebesar 5,02 juta ton, dan 2019 sebesar 4,09 juta ton.
Diberitakan Harian Kompas, 17 Februari 1972, Direktur Jenderal Perkebunan Brigjen Muluk Lubis menyampaikan target swasembada gula 1980. Dengan perkiraan penduduk 150 juta jiwa dan rata-rata konsumsi 10 kilogram per kapita setahun, Indonesia menargetkan produksi gula 1,5 juta ton.
Baca juga: Ironi Gula, Eksportir era Hindia Belanda, Jadi Importir Usai Merdeka
Sekitar 3,5 bulan kemudian, Menteri Pertanian Prof Tojib Hadiwidjaja menyampaikan target yang lebih optimistis, Indonesia akan mencapai swasembada dengan produksi 1,08 juta ton tahun 1974.
Enam tahun lebih cepat dari rencana semula. Sebanyak 80.000 ton di antaranya bahkan direncanakan akan diekspor. Dua tahun kemudian, rencana ekspor gula tak terpenuhi.
Produksi gula 1974 diklaim mencapai 1,08 juta ton. Namun, target swasembada menghadapi tantangan peningkatan konsumsi. Ketika itu, konsumsi gula per kapita disebut telah mencapai 10 kg per tahun atau jauh dari perkiraan semula yang 6,5 kg per tahun.
Empat tahun kemudian, cita-cita swasembada belum juga tercapai. Menteri Pertanian Prof Ir Soedarsono Hadisapoetro mengakui bahwa swasembada gula menjadi beban pemerintah selama bertahun-tahun, tetapi belum ada jalan keluar.
Baca juga: Harga Gula Bisa di Bawah Rp 10.000 Per Kg Tanpa Impor, asalkan...
Pemerintah pun berencana mengembangkan dan mengefisienkan pabrik gula. Pada 1990, hasrat swasembada kembali menggelora.
"Rencana Indonesia berswasembada gula pada 1992 tidak bisa ditawar lagi,” kata Direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) Prof Dr Ir Goeswono Soepardi, kepada wartawan, 11 Desember 1990.
Tiga tahun kemudian, harapan itu belum terwujud. Pada 2002, pemerintah kembali mencanangkan swasembada gula tahun 2007, lalu diundur jadi 2008, kemudian direvisi jadi 2009 dan hanya untuk gula konsumsi masyarakat, tak termasuk gula untuk industri.
Selama kurun 2010-2020, mimpi mengejar swasembada gula juga tidak reda. Namun, upaya mewujudkannya tidak semudah mengalkulasi produksi di atas kertas.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Indonesia, Soemitro Samadikoen, mengatakan masalah menahun gula sebenarnya cukup ironi di Indonesia. Mengingat negara ini pernah jadi eksportir sekaligus produsen gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba di era Hindia Belanda.
Setelah merdeka, Indonesia mewarisi 179 pabrik gula (PG) dari swasta Belanda yang kemudian dikelola sejumlah BUMN perkebunan. Masalah mulai muncul ketika konsumsi gula semakin meningkat, namun tidak diimbangi dengan investasi pabrik gula baru maupun revitalisasi PG lama peninggalan Belanda.
Harga gula bisa ditekan jika biaya produksi bisa murah, terutama dalam kaitannya dengan tingkat rendemen PG. Masalahnya, rendemen tinggi sulit dicapai jika mengandalkan pabrik-pabrik gula tua peninggalan Belanda.
Sementara pabrik-pabrik gula baru, umumnya merupakan produsen gula rafinasi yang bahan bakunya (raw sugar) diimpor dari luar negeri.
Baca juga: Tekan Harga Gula, PT RNI Adakan Operasi Pasar
"Orientasinya kalau mau swasembada gula atau bisa ekspor seperti zaman Belanda, naikkan rendemen, jangan terus bergantung impor. Rendemen pabrik-pabrik gula tua Belanda sekitar 6,5 sampai 7,5 persen," kata Soemitro.
Rendemen tebu sendiri adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Bila dikatakan rendemen tebu 10 persen, artinya ialah bahwa dari 100 kg tebu yang digilingkan di pabrik gula akan diperoleh gula sebanyak 10 kg.
"Kalau rendemen bisa 9 sampai 10 persen, harganya bisa di bawah Rp 12.000/kg. Bahkan bisa di bawah Rp 10.000 jika rendemen bisa ditingkatkan lagi," ungkap Soemitro yang juga petani tebu asal Nganjuk ini.
Dia mencontohkan, harga gula di Thailand bisa murah karena tingkat rendemen pabrik gulanya mencapai 10 persen. Rendemen yang tinggi, juga membuat keuntungan yang diterima petani tebu lebih tinggi sehingga bergairah untuk menanam tebu.
Baca juga: KPPU: Harga Gula Mahal, Pelaku Usaha Petani Rakyat Tak Nikmati Untung
Saat ini, lanjutnya, luasan lahan tebu terus menyusut setiap tahun yang membuat PG milik BUMN tak bisa beroprasi maksimal. Para petani tebu kini banyak beralih menanam komoditas lain karena harga gula yang kurang menguntungkan.
"Kalau rendemen tinggi petani akan semangat menanam tebu. Itu tolonglah kalau mau swasembada, pabrik-pabrik gula Belanda itu direvitalisasi. Mesin sudah tua, masih pake ketel uap, bagaimana gula bisa murah produksinya," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.