Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serikat Buruh: New Normal Tidak Akan Efektif

Kompas.com - 28/05/2020, 10:37 WIB
Ade Miranti Karunia,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebutkan, adanya penerapan tatanan normal baru atau "new normal" bakal meningkatkan jumlah masyarakat positif terpapar virus corona (Covid-19).

Oleh karena itu, KSPI menyarankan agar pemerintah tidak menggunakan istilah “new normal”. Tetapi tetap menggunakan istilah jaga jarak fisik (physical distancing) yang terukur. Misalnya, untuk kalangan buruh yang bekerja di perusahaan diliburkan secara bergilir untuk mengurangi keramaian di tempat kerja. 

“Dengan jumlah orang yang keluar rumah untuk bekerja berkurang, maka physical distancing lebih mudah dijalankan. Inilah yang terukur. Di samping penyebaran pandemik corona bisa ditekan, ekonomi bisa tetap bergerak dan tumbuh,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Kamis (28/5/2020).

“Saat ini saja ketika masih diberlakukan PSBB banyak yang tidak patuh. Apalagi jika diberi kebebasan,” lanjut Iqbal.

Baca juga: New Normal, Harapan Pemerintah Pulihkan Ekonomi dari Dampak Pandemi

Dia menegaskan, KSPI dan buruh Indonesia mendukung  Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pemerintahannya untuk memerangi penyebaran Covid-19 dengan tetap mengkampanyekan physical distancing dan meminta buruh diliburkan secara bergilir. Bukan menerapkan istilah "new normal" yang membingungkan para buruh dan masyarakat kecil.

Said Iqbal menilai bahwa kebijakan "new normal" tidak tepat. Setidaknya ada lima fakta yang menjadi alasan, antara lain:

Fakta pertama, jumlah orang yang positif corona masih terus meningkat. Bahkan pertambahan orang yang positif setiap hari jumlahnya masih mencapai ratusan.

Fakta kedua, sejumlah buruh yang tetap bekerja akhirnya positif terpapar corona. Hal ini bisa dilihat, misalnya di PT Denso Indonesia dan PT Yamaha Music Manufaktur Indonesia ada yang meninggal akibat positif terpapar Covid-19. Begitu juga di PT HM Sampoerna dan PEMI Tangerang, dilaporkan ada buruh yang OPD, PDP, bahkan positif. 

Fakta ketiga, saat ini sudah banyak pabrik yang merumahkan dan melakukan PHK akibat bahan baku material impor makin menipis dan bahkan tidak ada. Seperti yang terjadi di industri tekstil, bahan baku kapas makin menipis.

Di industri otomotif dan elektronik, suku cadang makin menipis. Di industri farmasi, bahan baku obat juga makin menipis. Sementara di industri pertambangan, jumlah ekspor bahan baku menurun. 

“Fakta ini menjelaskan, new normal tidak akan efektif. Percuma saja menyuruh pekerja untuk kembali masuk ke pabrik. Karena tidak ada yang bisa dikerjakan, akibat tidak adanya bahan baku,” tegasnya.

Baca juga: New Normal, Asosiasi Ojek Online Minta Penumpang Bawa Helm Sendiri

Fakta keempat, PHK besar-besaran yang terjadi di industri pariwisata, UMKM, dan sepinya permintaan yang diterima transportasi daring (online) hingga kini belum ada solusi. Bahkan di industri manufaktur, ancaman PHK terhadap ratusan ribu buruh sudah di depan mata. 

Menurut Iqbal, saat ini yang dibutuhkan bukan penerapan new normal untuk mengatasi ancaman PHK. Melainkan harapan bantuan langsung tunai dari pemerintah yang seharusnya semakin dimaksimalkan.

“Seharusnya pemerintah memaksimalkan pemberian bantuan langsung tunai dan memberikan subsidi upah. Bukan meminta bekerja kembali di tengah pandemi yang mengancam hilangnya nyawa,” tegasnya.

Fakta kelima, tanpa new normal pun, lanjut Iqbal, sebenarnya masih banyak perusahaan yang masih meminta buruhnya tetap bekerja. Dengan demikian, yang dibutuhkan para buruh dan pengusaha bukan "new nomal". Tetapi regulasi dan strategi untuk memastikan bahan baku impor bisa masuk dan selalu tersedia di industri. 

Baca juga: Ini Beberapa Daerah yang Menurut Pemerintah Siap Terapkan New Normal

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com