Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menurut Pemerintah, Iuran BPJS Kesehatan Kelas I Harusnya Rp 286.000

Kompas.com - 31/05/2020, 12:47 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan penyesuaian iuran BPJS Kesehatan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 belum sesuai dengan perhitungan aktuaria.

Dalam perpres tersebut, iuran BPJS Kesehatan akan dinaikkan menjadi Rp 160 ribu untuk kelas I dan Rp 100 ribu untuk layanan kelas II mulai 1 Juli.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menjelaskan, sebenarnya kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan perhitungan aktuaria.

Dia pun mengatakan, kenaikan tarif iuran juga hanya berlaku untuk segmen kelas menengah ke atas, yaitu kelas II dan kelas I.

"Ini (kenaikan iuran) masih jauh di bawah perhitungan aktuaria, (harusnya) untuk kelas I Rp 286.000, kelas II Rp 184.000. Artinya segmen ini masih mendapatkan bantuan pemerintah sebenarnya," ujar Febrio dalam video conference, Jumat (29/5/2020).

Baca juga: Kemenkeu: Harusnya Iuran BPJS Kesehatan Kelas I Rp 286.000, Kelas II Rp 184.000

Dalam Pasal 34 Perpres yang ditandatangani pada 5 Mei 2020 itu disebutkan tarif BPJS Kesehatan 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta kelas I naik dari Rp 80.000 jadi Rp 150.000 per bulan.

Iuran peserta kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 100.000 per bulan. Ketentuan ini berlaku mulai 1 Juli 2020 (iuran BPJS 2020). Sementara iuran peserta kelas III segmen peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (BP) jadi Rp 42.000 per bulan.

Untuk menyubsidi kepesertaan kelas III, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 3,1 triliun ke BPJS Kesehatan.

Dalam skemanya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah membayarkan iuran BPJS Kesehatan bagi 132,6 juta orang, yang terdiri dari 96,5 juta jiwa ditanggung pemerintah pusat dan 36 juta dibayarkan oleh pemerintah daerah.

Baca juga: Iuran 132,6 Juta peserta BPJS Kesehatan Digratiskan Pemerintah

Subsidi tersebut sejumlah Rp 16.500/orang sehingga peserta kelas 3 tidak mengalami kenaikan iuran, tetap per bulan sejumlah Rp 25.500/orang. Jumlah katehori ini tercatat sebanyak 21,6 juta jiwa.

Sedangkan peserta BPJS PPU merupakan golongan pekerja penerima upah, baik yang bekerja di sebuah perusahaan, maupun PNS/TNI/Polri. Untuk pekerja penerima upah, iuran akan ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.

Tarif BPJS belum naik sejak 2016

Kenaikan tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan yang tertuang dalam Perpres 75 tahun 2019. Di Perpres itu, masing-masing kelas di dalam perpres tersebut mengalami kenaikan iuran menjadi Rp 160.000, Rp 110.000 dan Rp 42.000.

Febrio pun mengatakan, tarif iuran BPJS Kesehatan perlu dilakukan peninjauan ulang secara berkala. Pasalnya sejak tahun 2016, tarif iuran BPJS Kesehatan belum pernah mengalami penyesuaian.

 

Bahkan untuk kelas III kata dia, sejak program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) muncul, belum pernah sekalipun mengalami kenaikan tarif.

"Besaran iuran BPJS Kesehatan itu perlu di-review secara berkala. Sebab praktiknya, iuran JKN terakhir naik tahun 2016, bahkan kelas III PBPU belum pernah disesuaikan sejak 2014," ucapnya.

Baca juga: DJSN Nilai Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Masih Wajar dan Terjangkau

"Jumlah masyarakat miskin yang tidak mampu sebanyak 132,6 juta jiwa itu menjadi peserta PBI gratis, iuran kepesertaan dibayar oleh pemerintah melalui APBN sebanyak 96,6 juta jiwa dan APBD 36 juta jiwa," sambung dia.

Klaim penyakit katastropik membengkak

Sementara itu dikutip dari data Harian Kompas, penyebab defisit BPJS Kesehatan antara lain besarnya beban jaminan kesehatan yang harus dibayarkan untuk penyakit katastropik atau penyakit yang berbiaya tinggi yang sebenarnya dapat dicegah.

Beberapa penyakit katastropik yang berbiaya besar tersebut adalah jantung, kanker, stroke, diabetes, dan gagal ginjal.

Pada tahun 2018, beban biaya penyakit katastropik Rp 20,4 triliun. Sementara pada periode Januari-Agustus 2019, jumlahnya sudah mencapai Rp 15,4 triliun. Hingga akhir 2019, jumlah ini akan bertambah, bahkan melebihi angka pada 2018.

Baca juga: BPJS Kesehatan, Badan Nirlaba yang Terus Dirundung Defisit Sejak 2014

Selama ini, defisit pembiayaan ditanggulangi dengan pemberian dana talangan oleh pemerintah. Pada tahun 2015, dana talangan dari pemerintah untuk defisit badan nirlaba ini sebesar Rp 5 triliun. Angka tersebut bertambah menjadi Rp 10,3 triliun pada 2018.

Namun, defisit belum sepenuhnya teratasi. Di sisi lain, lembaga ini juga dianggap sangat membantu masyarakat miskin. Tercatat per 13 Desember 2019, jumlah peserta JKN sudah mencapai 224.133.671 jiwa, yang didominasi oleh peserta penerima bantuan iuran (PBI).

Yaitu peserta rakyat miskin yang iurannya dibayar oleh pemerintah, yang terdiri dari PBI APBN sebanyak 96.536.627 jiwa (43,07 persen) dan PBI APBD sebanyak 38.851.130 jiwa (17,33 persen).

Kunjungan ke fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama pada semester pertama 2019 mencapai 158.482.938 kunjungan, pemanfaatan rawat jalan di rumah sakit (RS) mencapai 35.583.094 kunjungan, dan untuk rawat inap sebanyak 4.550.849 kunjungan.

(Sumber: KOMPAS.com: Mutia Fauzia | Editor: Yoga Sukmana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com