Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Maskapai Hadapi Dampak Covid-19, Tarif Batas Atas Perlu Dikaji Ulang?

Kompas.com - 09/06/2020, 15:12 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Maskapai penerbangan di seluruh dunia menghadapi dampak pagebluk virus corona. Ini termasuk pula maskapai-maskapai penerbangan di Indonesia.

Meski sempat dihentikan untuk menghindari penyebaran virus corona, namun sejumlah penerbangan di Tanah Air kembali dioperasikan. Tentunya dengan patuh pada protokol kesehatan.

Salah satunya adalah dengan pembatasan kapasitas tempat duduk penumpang menjadi antara 50 hingga 70 persen.

Baca juga: Insentif untuk Industri Penerbangan Perlu Ditebar Secara Adil

Ini pun dilakukan untuk memenuhi pembatasan fisik atau physical distancing di dalam penerbangan.

Dalam kondisi normal baru atau new normal ini, meskipun penerbangan telah diizinkan untuk kembali beroperasi, namun maskapai belum sepenuhnya meraup pendapatan besar. Sebab, pembatasan kapasitas pastinya berdampak pada pendapatan.

Di sisi lain pun ada tarif batas atas (TBA) tiket pesawat yang masih berlaku saat ini.

Dengan kondisi seperti saat ini, apakah sudah saatnya tarif batas atas ditinjau ulang?

Baca juga: PHK di Industri Penerbangan Bisa Dihindari, jika...

Ridha Aditya Nugraha, dosen Program Studi Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya dengan spesialisasi Hukum Udara dan Antariksa mengungkapkan, saat ini ada dua hal yang menjadi dua sisi mata uang, yakni protokol kesehatan dan pemulihan ekonomi atau bisnis.

Di satu sisi ada aturan terkait protokol kesehatan dalam penerbangan, termasuk pembatasan kapasitas pesawat 50 persen. Namun di sisi lain, kondisi keuangan maskapai juga dapat dikatakan sedang buruk.

Kondisi ini pun ditambah dengan masih diterapkannya tarif batas atas.

"Indonesia hanya satu dari sedikit negara di ASEAN yang masih memiliki tarif batas atas," kata Ridha ketika berbincang dengan Kompas.com, belum lama ini.

Ia memberi contoh adalah Thailand yang memiliki pangsa pasar penerbangan domestik yang cukup besar namun sudah tidak menerapkan tarif batas atas. Begitu pula dengan Malaysia.

 

Menurutnya, aturan batasan kapasitas pesawat sebesar 50 persen otomatis akan mengurangi jumlah penumpang dan pendapatan maskapai. Di sisi lain, tarif batas atas juga dipandang belum mendukung bisnis maskapai.

Persilangan antara dua kondisi tersebut kemungkinan membuat maskapai terbang untuk merugi.

"Sekarang yang menjadi pertanyaan bagi Indonesia, apakah perlu merevisi peraturan (tarif) batas atas, yang di peraturan sebelumnya sudah dibilang dimungkinkan, atau era penerbangan murah sudah hilang saat era pandemi ini?" ujar Ridha.

Baca juga: Pemerintah Naikkan Tarif Batas Atas Pesawat Kelas Ekonomi

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan menaikkan tarif batas atas (TBA) pesawat untuk penumpang kelas ekonomi.

Hal itu berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 88 Tahun 2020 tentang Penetapan Sementara Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Selama Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.

Adapun kenaikan tarif tersebut paling sedikit 50 persen dari TBA sesuai kelompok pelayanan yang ditetapkan.

Ada beberapa pertimbangan membuat Luhut harus memutuskan kenaikan TBA angkutan udara.

Baca juga: Pekan Depan, Pemerintah Evaluasi Penurunan Tarif Batas Atas Tiket Pesawat

Di antaranya, nilai tukar rupiah, harga jual avtur, serta biaya per unit yaitu biaya per penumpang untuk pesawat jet dan 40 persen untuk pesawat propeller yang disebabkan penerapan phsycal distancing selama masa PSBB.

"Yang mengakibatkan Badan Usaha Angkutan Udara hanya dapat menjual kapasitas pesawat udara di bawah 50 persen," sebut isi Kepmen ini.

Besaran TBA ini belum termasuk pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), iuran wajib dana pertanggungan dari PT Jasa Raharja (Persero), biaya tambahan, serta tarif pelayanan jasa penumpang pesawat udara (PJP2U).

Baca juga: Kini Pesawat Bisa Angkut Penumpang 70-100 Persen

Adapun Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pada hari ini resmi menghapus aturan batasan jumlah penumpang sebesar 50 persen dari total kapasitas angkut.

Melalui Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 41 Tahun 2020, Kemenhub mengubah aturan mengenai jumlah penumpang yang tadinya dibatasi sebesar 50 persen kapasitas pesawat.

 

Aturan itu tertuang dalam Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), menjadi tak diatur secara spesifik dalam aturan baru.

"Misalnya dalam PM 18 kapasitas penumpang pesawat maksimal 50 persen namun sekarang ada kemajuan yang berarti dalam menjaga protokol kesehatan melalui diskusi yang panjang dari INACA, para airline, dan gugus tugas dan kemenkes," kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam konferensi pers virtual, Selasa (9/6/20).

Aturan lebih detail mengenai operasional transportasi udara termuat dalam Surat Edaran (SE) Dirjen Perhubungan Udara No 13 Tahun 2020.

Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Novie Riyanto mengungkapkan, pesawat bisa mengangkut penumpang berkisar antara 70-100 persen dari kepasitas angkut. Namun hal ini tergantung jenis armadanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bagaimana Prospek IPO di Indonesia Tahun Ini Usia Pemilu?

Bagaimana Prospek IPO di Indonesia Tahun Ini Usia Pemilu?

Whats New
Harga Makanan Global Diperkirakan Turun, Konsumen Bakal Lega

Harga Makanan Global Diperkirakan Turun, Konsumen Bakal Lega

Whats New
Laba Bersih Astra Agro Lestari Turun 38,8 Persen, Soroti Dampak El Nino

Laba Bersih Astra Agro Lestari Turun 38,8 Persen, Soroti Dampak El Nino

Whats New
Naik, Pemerintah Tetapkan Harga Acuan Batu Bara hingga Emas April 2024

Naik, Pemerintah Tetapkan Harga Acuan Batu Bara hingga Emas April 2024

Whats New
Alasan Mandala Finance Tak Bagi Dividen untuk Tahun Buku 2023

Alasan Mandala Finance Tak Bagi Dividen untuk Tahun Buku 2023

Whats New
Efek Panjang Pandemi, Laba Bersih Mandala Finance Turun 35,78 Persen

Efek Panjang Pandemi, Laba Bersih Mandala Finance Turun 35,78 Persen

Whats New
Heboh soal Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta, Cek Ketentuannya

Heboh soal Beli Sepatu Rp 10 Juta Kena Bea Masuk Rp 31 Juta, Cek Ketentuannya

Whats New
KB Bank Targetkan Penyelesaian Perbaikan Kualitas Aset Tahun Ini

KB Bank Targetkan Penyelesaian Perbaikan Kualitas Aset Tahun Ini

Whats New
Astra Agro Lestari Sepakati Pembagian Dividen Rp 165 Per Saham

Astra Agro Lestari Sepakati Pembagian Dividen Rp 165 Per Saham

Whats New
Ditopang Pertumbuhan Kredit, Sektor Perbankan Diprediksi Semakin Moncer

Ditopang Pertumbuhan Kredit, Sektor Perbankan Diprediksi Semakin Moncer

Whats New
Survei: 69 Persen Perusahaan Indonesia Tak Rekrut Pegawai Baru untuk Hindari PHK

Survei: 69 Persen Perusahaan Indonesia Tak Rekrut Pegawai Baru untuk Hindari PHK

Work Smart
Heboh soal Kualifikasi Lowker KAI Dianggap Sulit, Berapa Potensi Gajinya?

Heboh soal Kualifikasi Lowker KAI Dianggap Sulit, Berapa Potensi Gajinya?

Whats New
Tantangan Menuju Kesetaraan Gender di Perusahaan pada Era Kartini Masa Kini

Tantangan Menuju Kesetaraan Gender di Perusahaan pada Era Kartini Masa Kini

Work Smart
Bantuan Pesantren dan Pendidikan Islam Kemenag Sudah Dibuka, Ini Daftarnya

Bantuan Pesantren dan Pendidikan Islam Kemenag Sudah Dibuka, Ini Daftarnya

Whats New
Tanggung Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh, KAI Minta Bantuan Pemerintah

Tanggung Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh, KAI Minta Bantuan Pemerintah

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com