JAKARTA, KOMPAS.com - Usai membuka keran ekspor benih lobster, kini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berencana menerbitkan revisi soal perizinan 8 alat tangkap baru termasuk cantrang.
Delapan alat tangkap ini merupakan alat penangkap ikan (API) yang belum diatur atau dilarang dalam Peraturan menteri KP Nomor 71 Tahun 2016 dan Keputusan Menteri Nomor 86 Tahun 2016.
Delapan alat tangkap ikan baru itu disusun berdasarkan hasil kajian sebagai tindak lanjut Menteri KP Nomor B.717/MEN-KP/11/2019 Tentang Kajian terhadap Peraturan Bidang Kelautan dan Perikanan.
Baca juga: Menteri Edhy Kembali Bolehkan Penggunaan Cantrang untuk Tangkap Ikan
Adapun 8 alat tangkap yang ditambah dalam daftar legal antara lain, pukat cincin pelagit kecil dengan dua kapal, pukat cincin pelagit besar dengan dua kapal, payang, cantrang, pukat hela dasar udang, pancing berjoran, pancing cumi mekanis (squid jigging), dan huhate mekanis.
KKP punya alasan cantrang digunakan kembali, salah satunya mendorong iklim investasi. Peraturan-peraturan yang dinilai menghambat rencana investasi akan direvisi.
Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP Trian Yunanda mengatakan, upaya legalisasi ini adalah rencana pemerintah dalam pengaturan pengendalian alat tangkap. Ada beberapa standar yang ditetapkan seiring dilegalkannya alat-alat tangkap tersebut.
"Tentunya ada standar SNI yang ditetapkan, memenuhi standar keramahan lingkungan. Nanti (diatur) dengan pengaturan-pengaturan, kuota, dan termasuk pengawasannya nanti kita bisa kendalikan semuanya," kata Trian dalam konsultasi publik, Selasa (9/6/2020).
Baca juga: Edhy Prabowo Jadi Cabut Larangan Cantrang Era Susi?
Trian menjelaskan, karakteristik alat tangkap cantrang berbeda dengan trawl. Saat ikut serta dalam mobilisasi kapal bercantrang ke Natuna Utara, dia melihat cantrang tidak merusak karena tahu persis bedanya cantrang dengan trawl.
"Orang bilang cantrang merusak. Malah cantrang hasil tangkapannya agak sulit di sana (Natuna Utara). Itu terpengaruh dengan arus yang kuat. Ini membuktikan cantrang itu beda karakteristiknya dengan trawl," ungkapnya.
KKP juga kembali mengizinkan kapal-kapal ikan berukuran di atas 200 gross ton (GT) kembali beroperasi dengan persentase skala usaha sebesar 22 persen.
Susi Pudjiastuti, yang merupakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan mengkritisi kebijakan kontroversi itu.
Apalagi di zaman Susi lah aturan dilarangnya penggunaan alat tangkap cantrang dan pukat hela (trawl) keluar.
"Ikan sudah banyak saatnya kapal-kapal raksasa cantrang, trawl, purseiners, dan lain-lain mengeruk kembali. Saatnya panen bibit lobster yang sudah ditunggu-tunggu Vietnam. Inilah investasi yang kita banggakan," sindir Susi melalui akun Twitternya, Kamis (11/6/2020).
Susi juga mengkritisi revisi peraturan perikanan tangkap, yang kembali mengizinkan kapal-kapal ikan berukuran di atas 200 gross tonage (GT) kembali beroperasi. Persentase skala usaha sebesar 22 persen.
Di masanya menjabat, Susi kerap kali menyinggung penggunaan alat tangkap dengan kapal yang super besar.
Kapal di atas 100 GT biasanya dilengkapi cantrang berukuran lebar dengan daya sapu (sweeping) hingga kedalaman laut.
Baca juga: Menteri Edhy Kembali Bolehkan Penggunaan Cantrang untuk Tangkap Ikan
Kapal di atas 70 GT saja, kata Susi, dilengkapi panjang tali cantrang paling pendek 1,8 - 2 kilometer.
Praktis, cantrang sebesar itu mampu menangkap ikan hingga ke dasar laut, karena kedalaman beberapa laut tak lebih dari 100 meter, seperti Laut Pantura. Akibatnya, sumber daya perikanan bisa tergerus habis.
"Ini kapal cantrang yang kecil. Yang gede di atas 100 GT, talinya bisa 6 kilometer. Sweepingnya dasar lautnya bisa mencapai lebih dari 500 Ha," ujar Susi.
Sepakat dengan Susi, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati menilai, pemberian izin kepada kapal-kapal bercantrang menunjukkan keberpihakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) ditujukan untuk pengusaha cantrang.
Padahal, profesi nelayan tradisional di Indonesia lebih mendominasi, sekitar 2,7 juta nelayan tradisional dengan kapal berukuran di bawah 7 GT dan 10 GT.
Baca juga: Cantrang Kembali Diperbolehkan, Kiara: Ini Catatan Merah buat Pak Edhy...
"Kenapa dicederai dengan kebijakan yang tidak pro terhadap nelayan tradisional? Dampaknya jelas, nelayan tradisional dan nelayan skala kecil akan kehilangan ruang perairannya," kata Susan kepada Kompas.com, Kamis (11/6/2020).
Bukan cuma soal keberlanjutan, pelegalan cantrang kerap menimbulkan berbagai konflik horizontal antar nelayan.
Konflik terjadi antara kapal-kapal besar berukuran di atas 10 GT dengan kapal nelayan kecil di bawah 10 GT.
Nelayan kecil mengaku kesulitan saat cantrang beroperasi karena tangkapannya menjadi minim. Sedangkan untuk melaut lebih ke tengah, kapalnya tak mumpuni dibanding kapal-kapal besar.
Bahkan kata Susan, nelayan Natuna sempat mengajukan protes atas keberadaan kapal-kapal bercantrang yang dimobilisasi Natuna tempo hari.
"KKP ini mencederai banyak orang, termasuk masyarakat adat. Kalau bicara spirit keberlanjutan, kita enggak melihat ini di kebijakan yang dikeluarkan oleh KKP. Semuanya dibuat untuk mengakomodir kepentingan investasi," papar Susan.
Lebih lanjut, kebijakan membuka keran operasi cantrang mengundang praktik penangkapan ikan ilegal (IUU Fishing) yang telah lama diperangi Indonesia.
Baca juga: Susi Sindir Kebijakan soal Cantrang yang Kembali Bisa Digunakan
Kapal-kapal besar di atas 200 GT yang kembali beroperasi bisa mengeksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia.
"Ini catatan merah buat Pak Edhy (Menteri Kelautan dan Perikanan). Tolong libatkan partisipasi publik, bukan hanya sosialisasi," pungkas Susan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.