Dengan skema iuran tersebut, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, BPJS berpotensi surplus Rp 37,1 triliun. Namun demikian, pasal mengenai kenaikan tarif tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada beberapa waktu lalu. Fachmi mengatakan, dengan pembatalan tersebut risiko defisit BPJS Kesehatan menjadi sebesar Rp 39 triliun.
Setelah dibatalkan MA, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perpres 60 tahun 2020. Dalam Perpres ini Pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Yakni, masing-masing peserta menjadi Rp 150.000 untuk peserta kelas I per orang per bulan, kelas II sebesar Rp 110.000 per orang per bulan, dan kelas III sebesar Rp 42.000 per orang per bulan.
Dengan demikian, risiko defisit bisa ditekan ke level Rp 185 miliar.
"Dengan demikian proyeksi kurang lebih situasinya membaik, walau defisit masih Rp 185 miliar namun untuk tahun-tahun berikutnya pelaksanaan program bisa membaik, dalam membayar rumah sakit bisa membaik dan tidak sampai mengalami gagal bayar cukup panjang seperti pengalaman sebelumnya," jelas Fachmi ketika memberi penjelasan kepada Komis IX DPR RI, Kamis (11/6/2020).
Baca juga: Rincian Lengkap Iuran BPJS Kesehatan, Sebelum dan Setelah Naik
Masalah defisit tak langsung usai
Fachmi mengatakan, masalah defisit kas BPJS Kesehatan tak serta merta rampung dengan berlakunya tarif baru iuran peserta sesuai dengan Perpres 64 tahun 2020.
"Namun sebagaimana yang disampaikan Pak Menko (Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy), pada akhirnya dengan adanya Perpres (tarif baru iuran) jangan dipandang masalah defisit akan selesai," ujar Fachmi.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, saat ini tarif iuran BPJS Kesehatan masih jauh dari perhitungan aktuaria.
Menurut dia dengan tarif iuran yang berlaku saat ini, pemerintah harus menambal selisihnya dengan besaran iuran berdasarkan perhitungan aktuaria. Namun demikian, hal tersebut tidak bisa berlangsung secara terus menerus jika disesuaikan dengan kapasitas fiskal pemerintah. "Bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional itu iya, kalau di bawah aktuaria artinya pemerintah yang menangani," ujar Muhadjir.
"Tapi tentu tidak mungkin pemerintah akan terbebani terus menerus dengan kapasitas fiskal yang ada. Idealnya ini iuran, gotong royong, sehingga ditanggung bersama secara aktuaria ini. Bukan berarti pemerintah tidak bertanggung jawab," sambung dia.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.