Melihat kerumunan orang belanja di pasar, lautan ojek yang mengantar pegawai pulang bekerja, puluhan orang bergerombol memasuki lift, atau penumpang kereta api di stasiun, orang bisa menjadi phobia dan cemas.
Phobia seperti ini di satu sisi bisa membatasi manusia dari kerumunan dan mencegah penularan dari wabah Covid-19, tetapi juga menimbulkan tekanan-tekanan baru terhadap perhitungan skala ekonomi infrastruktur kerja, dan membatasi konsumsi. Ia juga mengubah perhitungan kita tentang pengembalian investasi dan rencana ekspansi.
Pandemi ini sejatinya juga mengubah pola konsumsi dan percepatan pemakaian teknologi mulai dari cobot (colaboration robot) sampai kecerdasan buatan. Semua itu tentu membutuhkan pemahaman-pemahaman baru dalam berkegiatan ekonomi. Bahkan datang tekanan untuk meremajakan regulasi menjadi lebih acceptable terhadap penggunaan teknologi digital, mulai dari diagnosa pasien sampai cyber security.
Lalu juga terjadi paradoks dalam pengembangan SDM. Di satu sisi talenta-talenta dengan future skills sangat dibutuhkan, namun mereka lebih suka menjadi entrepreneur mendirikan startup yang mendisrupsi perusahaan-perusahaan besar.
Baca juga: Erick Thohir Ingin Tambah Porsi Pihak Eksternal untuk Direksi BUMN
Di sisi lain, inovasi berakibat efisiensi, membuat perusahaan-perusahaan lama harus berpikir ulang untuk mengalihkan pekerjaan dan menjaga produktivitas sumber dayanya. Di sisi lain, bangsa-bangsa tengah berjuang mengatasi pengangguran.
Dan akibat dari resesi ekonomi, isolasionisme, the rise of power, agoraphobia dan paradox of talent tersebut, dunia akan menyaksikan babak baru mega-merger disertai akuisisi-akuisisi baru yang benar-benar mengubah peta usaha dunia.
Akhirnya, yang ke 7, adalah tantangan untuk membuat siapapun dan apapun agar tetap relevan.
Kita tahu bahwa setiap zaman ada orangnya, dan setiap orang ada waktunya.
Tentu kita tak bisa melawan hukum alam, juga tak bisa mempercepat kematangan manusia seperti meng-karbit pisang yang tampak kuning di luar namun masih keras di dalam.
Kematangan luar-dalam dibutuhkan. Gabungan dari pemahaman, kematangan emosional, kecerdasan membaca konteks dan menemukan masa depan baru, kecepatan merespon, dan kemampuan strategis menjadi penentu bagi kemajuan perusahaan termasuk BUMN.
Tentu, bridging generations menjadi mutlak ditenggarai. Sehingga tua ataupun muda tak ada masalah sepanjang bisa bekerjasama.
Sama menjembatani antara pertumbuhan organic dan inorganic, menyatukan antara DNA korporasi dengan DNA platform digital, antara teknikal dengan financial. Bagi pemimpin, semua ini tak boleh menjadi hambatan.
Baca juga: Dalam Sepekan, Erick Thohir Rombak Petinggi di 8 BUMN
Tentu muaranya akan tampak dalam laporan keuangan, apakah dalam cash flow perusahaan atau besarnya hutang bila dibandingkan dengan EBITDA misalnya.
Namun, itu semua belum cukup. Rasa cinta tanah air, keterpanggilan untuk mengabdi (profesionalisme), serta integritas, menjadi penentu yang tak kalah pentingnya dari kemampuan mencetak laba atau memimpin transformasi.
Tentu para pemimpin lebih tahu siapa saja yang pantas memimpin dan mengawasi BUMN. Hanya saja kita perlu sama-sama memikirkan bahwa pandemi ini menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan.
Seperti kata banyak orang, hari esok itu, “Will not be the same again!”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.