Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudiyanto
Direktur Panin Asset Management

Direktur Panin Asset Management salah satu perusahaan Manajer Investasi pengelola reksa dana terkemuka di Indonesia.
Wakil Ketua I Perkumpulan Wakil Manajer Investasi Indonesia periode 2019 - 2022 dan Wakil Ketua II Asosiasi Manajer Investasi Indonesia Periode 2021 - 2023.
Asesor di Lembaga Sertifikasi Profesi Pasar Modal Indonesia (LSPPMI) untuk izin WMI dan WAPERD.
Penulis buku Reksa Dana dan Obligasi yang diterbitkan Gramedia Elexmedia.
Tulisan merupakan pendapat pribadi

Menebak Arah Pasar Modal Semester II 2020

Kompas.com - 17/06/2020, 10:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Semester I 2020 yang penuh gejolak sudah hampir berakhir. Berbagai sentimen negatif muncul silih berganti mulai dari potensi terjadinya perang, investor asing yang keluar dari saham dan obligasi Indonesia, kasus hukum yang menimpa perusahaan keuangan, hingga yang belakangan ini COVID-19, PSBB dan relaksasinya. Bagaimana dengan semester II 2020?

Meskipun negatif dan bergejolak hebat, penurunan signifikan lebih banyak terjadi di bulan Februari dan Maret. Sejak bulan April hingga Juni, kinerja IHSG dan Indeks Obligasi pemerintah stabil dan naik secara perlahan.

Pada saat artikel ini ditulis, IHSG berada di level 4.986 atau turun 20 persen dari posisi awal tahun di level 6.299.

Sebaliknya, Indeks Obligasi Pemerintah sudah naik 1,65 persen dari awal tahun. Hal ini menyebabkan kinerja reksa dana pendapatan tetap masih positif tahun ini, berbanding terbalik dengan reksa dana saham yang masih negatif.

Baca juga: New Normal dan Pelonggaran PSBB Bakal Picu Pasar Saham Menguat

IHSG juga sudah berkali-kali menguji level 5.000, penulis percaya bahwa pada akhir bulan Juni ini seharusnya mampu bertahan di atas level 5.000. Sampai dengan akhir tahun 2020, seharusnya IHSG nilai wajar IHSG akan berkisar di level 5.500–6.000.

Untuk Indeks Obligasi Pemerintah yang menjadi aset dasar reksa dana pendapatan tetap, tingkat return untuk tahun 2020 seharusnya dapat berkisar antara 8-10 persen yang merupakan akumulasi dari kupon dan efek kenaikan harga.

Meski demikian, volatilitas atau gejolak harga masih akan ada, terutama di instrumen berbasis saham dan reksa dana saham. Apa saja sentimen-sentimen yang mungkin berpengaruh terhadap pergerakan pasar modal di semester II ini ?

Data Pertumbuhan Ekonomi

Dirangkum dari 5 sumber yaitu Bank Indonesia, International Monetary Fund (IMF), Asian Development Bank (ADB), Bank Dunia, dan INDEF, Prediksi untuk tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2020 berkisar antara 0 persen hingga 2,5 persen.

Secara umum, ekonomi akan terkontraksi (negatif) signifikan pada kuartal II, agak pulih pada kuartal III, dan meningkat di Kuartal IV dan tahun 2021 nanti.

Sekalipun pertumbuhan ekonomi Indonesia 0 persen, hal ini tetap lebih baik dibandingkan negara lain yang diramalkan tingkat pertumbuhannya negatif dan secara teknis sudah memasuki masa resesi.

Pengumuman data pertumbuhan ekonomi setiap kuartal biasanya di awal bulan Mei, Agustus, November, dan Februari. Untuk bulan Agustus dan November ini akan menjadi perhatian.

Pada bulan Agustus, akan diketahui seberapa parah efek COVID-19 terhadap perekonomian, dan pada bulan November menjadi perkiraan awal tingkat pemulihan ekonomi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam wawancaranya, memperkirakan tingkat pertumbuhan ekonomi di Kuartal II 2020 sebesar -3,1 persen. Apabila data yang keluar sama atau lebih baik akan menjadi sentimen positif bagi bursa. Sebaliknya jika lebih buruk, maka bisa menjadi sentimen negatif.

Namun sentimen ini hanya bersifat sementara saja mengingat negara lain juga mengalami hal yang sama dan mungkin kondisinya jauh lebih buruk.

Data Laporan Keuangan

Periode publikasi laporan keuangan biasanya tidak terfokus pada 1 bulan. Ada perusahaan yang audit dan publikasinya cepat, ada juga yang agak terlambat. Laporan keuangan kuartal II 2020 biasanya keluar pada bulan Juli – Agustus. Namun bisa saja ada penyesuaian untuk mundur 1-2 bulan terkait Pandemi COVID-19.

Secara umum, laporan keuangan kuartal II 2020 diperkirakan akan sangat buruk. Sebab beberapa bidang usaha yang kegiatan penjualannya dilakukan via mal, praktis kehilangan omsetnya selama bulan April, Mei dan Juni.

Baca juga: Selagi Murah, Arab Saudi Borong Saham Facebook Hingga Boeing

Penjualan properti dan kendaraan yang biasanya mengandalkan interaksi fisik dengan pembelinya juga mengalami penurunan omset yang luar biasa. Demikian juga untuk sektor jasa seperti hotel, penerbangan, bioskop dan pariwisata, yang masih butuh waktu lebih panjang untuk pemulihan.

Bagi bidang usaha / perusahaan tertentu mungkin saja berdampak pada pengurangan gaji, PHK, gagal bayar, atau bahkan kebangkrutan.

Semakin lama dan semakin ketat PSBB, maka akan semakin parah dampak COVID-19 terhadap perekonomian. Oleh karena itu, relaksasi secara bertahap atau transisi ini menjadi acuan bagaimana kinerja perusahaan di semester II 2020.

Daripada laporan keuangan kuartal II pada bulan Juli – Agustus, laporan keuangan kuartal III yang keluar pada bulan Oktober – November yang akan lebih menjadi acuan investor.

Second Wave COVID-19?

Seiring dengan relaksasi dan pembukaan kegiatan perekonomian di banyak negara, sifat COVID-19 yang sangat menular dan adanya pasien dengan kategori Orang Tanpa Gejala (OTG), munculnya gelombang kedua merupakan hal yang tidak terhindarkan.

Namun dengan teknologi rapid test, swab test, dan Test Cepat Molekuler (TCM) yang semakin canggih, identifikasi dapat dilakukan dengan lebih cepat. Pengalaman dari pemerintah, tim medis, dan masyarakat juga bertambah baik seiring dengan penanganan pasien selama ini.

Dari kacamata pasar modal, untuk sentimen pasar modal secara global, second wave COVID-19 bisa menjadi risiko apabila tingkat kematian bertambah signifikan.

Saat ini tren kasus kematian untuk Amerika Serikat sebagai acuan menunjukkan penurunan walaupun kasus pasien baru masih berjumlah belasan atau puluhan ribu setiap harinya.

Untuk sentimen pasar modal secara lokal, second wave ini bisa menjadi risiko apabila dilakukan perpanjangan PSBB dengan syarat yang lebih ketat.

Namun jika ada penambahan kasus baru dan PSBB dilakukan terhadap lokasi tertentu saja, maka hal ini tidak menjadi risiko. Hanya saja membuat pemulihan ekonomi dan kinerja perusahaan menjadi lebih lambat.

Obat, Vaksin, dan Teknologi Test

Meskipun belum ada acuan resmi, sudah terdapat beberapa obat yang digunakan untuk mengobati COVID-19. Jumlah orang yang sembuh juga bisa dilihat dalam publikasi setiap harinya. Yang akan menjadi sentimen positif atau bahkan game changer adalah Vaksin dan Test.

Dengan vaksin, masyarakat menjadi imun terhadap virus ini sehingga kegiatan perekonomian dapat pulih lebih cepat. Namun penelitian vaksin biasanya membutuhkan waktu tidak sebentar.

Baca juga: Menilik Peluang Cuan Investasi Saham di Tengah Pandemi

Adanya perbedaan jenis virus juga menjadi permasalahan baru, sebab belum tentu cocok digunakan untuk penduduk negara lain.

Untuk itu, yang bisa menjadi sentimen positif adalah apabila ada terobosan dalam teknologi Rapid Test yang tingkat keakurasiannya tinggi mendekati Swab Test, dapat dilakukan dengan mudah tanpa harus ke fasilitas medis, hasilnya keluar cepat kurang dari 1 jam, dan biayanya di bawah Rp 100.000.

Investor Asing dan Investor Lokal, Individu dan Institusi

Semenjak kasus yang menimpa beberapa perusahaan asuransi dan manajer investasi yang menempatkan dananya pada saham gorengan sejak akhir tahun lalu, transaksi bursa saham mengalami penurunan signifikan.

Biasanya bisa mencapai Rp 7 triliun-Rp 9 triliun per hari, kemudian menjadi di bawah Rp 5 triliun. Transaksi saham-saham gorengan tersebut memang jumlahnya sangat signifikan. Tren ini berlangsung dari sekitar November hingga Maret 2020.

Namun seiring dengan PSBB dan koreksi dalam di bursa saham serta kemudahan untuk melakukan pembukaan secara elektronik, pembukaan rekening saham mengalami pertumbuhan yang signifikan terutama di bulan Maret, April dan Mei ini.

Ada kemungkinan pemilik usaha mencoba mencari sumber penghasilan lain pada waktu usaha ditutup dan pasar saham menjadi salah satu alternatif. Kebetulan pada bulan Maret dan April ada koreksi harga yang signifikan.

Transaksi saham kembali naik di atas level Rp 7 triliun, bahkan dalam beberapa sempat mencapai di atas Rp 10 triliun. Masuknya jumlah investor yang kebanyakan perorangan dalam jumlah signifikan ini memberikan warna baru di bursa saham.

Dana asing tidak sepenuhnya lagi menggerakkan IHSG. Meskipun net sell dalam jumlah besar sekalipun, IHSG tetap bisa naik di atas 2 persen yang pembelinya investor lokal individu.

Biasanya investor ini lebih banyak menggunakan Analisa teknikal, jadi ketika ada gejolak harga tinggi mereka akan mencoba masuk dan mendapatkan keuntungan dari situ.

Secara umum, investor asing masih akan bergerak taktis. Mereka akan coba masuk ketika harganya murah dan melakukan profit taking ketika harganya sudah naik.

 

Baca juga: Warren Buffett Belum Tertarik Borong Saham, Kenapa?

Net buy dan net sell harian masih akan terjadi silih berganti di pasar saham. Investor asing hanya konsisten net buy di Obligasi Pemerintah saja setelah keluar banyak pada bulan Februari – Maret yang lalu.

Yang menjadi perhatian adalah Investor Lokal Institusi masih belum banyak bergerak. Jumlah dana yang mereka miliki juga signifikan. Apabila mereka mulai masuk ke pasar, hal ini akan menambah kedalaman pasar dan berpotensi menjadi sentimen positif di semester II

Sentimen Luar Negeri

Dari luar negeri, yang bisa menjadi sentimen positif adalah program stimulus yang dikucurkan bank sentral berbagai negara untuk memulihkan perekonomian. Berita sentimen positif ini bahkan dapat mengalahkan berita tentang second wave COVID-19.

Untuk IHSG, yang menjadi perhatian adalah stimulus yang dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Reserve).

Pemilihan Presiden Amerika Serikat yang jika sesuai rencana akan diselenggarakan pada November 2020 ini. Sesuai perkembangan terakhir, yang akan bertanding adalah Donald Trump dari Partai Republik dan Joe Biden dari Partai Demokrat.

Bagi pasar modal Amerika Serikat, Donald Trump lebih memiliki efek positif karena dia lebih fokus pada perekonomian dan selalu memaksa bank sentral untuk memberikan lebih banyak stimulus. Dalam masa pemerintahan dia, indeks saham di sana juga mengalami kenaikan.

Namun bagi pasar modal Indonesia dan negara berkembang lain, Donald Trump juga memiliki kebijakan yang bertentangan dengan kaidah hubungan internasional. Akibatnya jika dia yang terpilih, pasar modal akan mengalami volatilitas yang tinggi.

Ketegangan antara negara, terutama dengan China yang memang sedang memperebutkan posisi negara adidaya akan semakin meruncing. Namun jika yang menang dari partai Demokrat, khusus untuk hal ini rasanya masih akan tetap sama.

Seiring dengan menuju hari H Pilpres, hasil survey kedua kandidat akan menjadi salah satu sentimen penggerak harga saham.

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com