Kendati tak lagi aktif secara fisik dalam komunitas, Emil masih melanjutkan budaya bercocok tanam dan membuat kota berkebun saat didapuk menjadi Walikota.
Dia bercerita, ada salah satu kampung kumuh yang tidak memiliki lahan untuk bercocok tanam. Namun, ada solusi untuk kampung itu.
"Lalu apa yang dilakukan? Di kampung itu ada sungai. Jadi bagian atas sungainya ditutup dengan bambu-bambu. Di atas sungai akhirnya ditanam kangkung, cabai. Lumayan," papar Ridwan.
Baca juga: Kiat Subarkat Mendulang Rupiah dengan Berkebun di Tanah Orang
Bahkan saat ini, Emil mengubah dan memanfaatkan pekarangan kantor dan rumah dinas menjadi lahan tanaman.
Di situ dia menanam berbagai sayur mayur, mulai dari strawberry hingga tomat-tomat kecil. Lumayan bisa menghemat pengeluaran, katanya.
"Saya dulu sempat usulin lahan bandara jadi kebun bayam dan sayur daripada enggak terurus cuma rumput. Hjaunya sama, tingginya hanya 2-3 jengkal tapi bisa diubah jadi uang. Lahan-lahan kosong di kota itu banyak, cuma mengubah mindset susah, ya," ujar Emil.
Emil berujar, urban farming seolah menemukan momentumnya kembali saat pandemi Covid-19. Banyak masyarakat yang akhirnya memilih berkebun saat tak ada lagi yang bisa dikerjakan.
Pasalnya, bercocok tanam mampu mengurangi suhu panas bila dilakukan secara massal. Mengacu pada penelitian dari IPB, menghijaukan alias menanam berbagai tanaman di seluruh atap gedung dapat menurunkan suhu panas.
Dengan begitu, isu krisis pangan bukan lagi menjadi masalah.
"Jadi kalau seluruh gedung itu konsisten dijadikan urban farming, sekian persen suplai makanan sayuran bisa dihasilkan sendiri sehingga tidak perlu repot-repot mengandalkan sistem yang ada sekarang," pungkas Emil.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.