Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gagal Terbang karena Rapid Test Lamban, Siapa yang Harus Tanggung Jawab?

Kompas.com - 01/07/2020, 14:03 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Penulis

 

Ada pula right to compensation berupa pemberian uang kompensasi kepada penumpang akibat penundaan penerbangan, misalnya uang kompensasi sebesar Rp 300.000.

Right to care dan right to compensation merupakan tanggung jawab maskapai. 

Namun, operator bandara juga bisa bertindak lebih dengan menjalankan right to care. Apalagi di tengah kondisi pandemi, tantangan dalam penerbangan bisa saja terjadi.

"Ada hal yang bisa diberikan oleh maskapai atau diambil alih oleh operator bandara. Terlepas dari salah siapa, apakah petugas yang kurang, atau hal lain," ungkap Ridha.

Baca juga: Lion Air Sediakan Layanan Rapid Test Covid-19, Biayanya Rp 95.000

Dalam hal semacam ini, Angkasa Pura sebagai operator bandara menjalankan peran dalam right to care. Menurut Ridha, Angkasa Pura bisa menjadi pelopor lantaran belum banyak operator bandara yang melakukan hal ini.

Ia memberi contoh, hal yang dapat dilakukan operator bandara adalah memberi fasilitas penginapan atau tempat istirahat dengan kenyamanan tertentu dan pengecekan ketat, terutama bagi lansia, ibu menyusui, dan anak-anak untuk menunggu penerbangan berikutnya.

Selain itu, sarana komunikasi untuk penumpang menghubungi sanak keluarga maupun kerabat yang menunggu keberangkatan atau kedatangan.

"Peran operator bandara dalam customer service tidak hanya berupa menjawab pertanyaan. Operator bandara bisa mengambil alih tanggung jawab," jelas Ridha.

Baca juga: Lion Air Group Terapkan Aturan Kursi di Kabin Pesawat

Ia pun mengingatkan, kondisi pandemi membuat keuangan maskapai penerbangan terdampak cukup parah. Tentunya maskapai tidak ingin kehilangan likuiditas karena menerapkan kebijakan uang kembali alias refund akibat batal terbang.

"Dalam konteks maskapai sudah betul (memberikan penerbangan berikutnya bagi penumpang yang batal terbang)," sebut Ridha.

Menurut dia, salah satu hal yang seharusnya dipikirkan pemerintah di tengah pandemi ini adalah skema apabila penumpang ketinggalan penerbangan akibat rapid test dan bila refund tidak dimungkinkan.

Dia memandang, Kementerian Perhubungan bisa menginisiasi inisiatif dengan Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) dan Indonesia Indonesia National Air Carrier Association (INACA) terkait kemungkinan penumpang dapat menggunakan maskapai lain apabila batal terbang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com