Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Isu Peleburan OJK, Gara-gara Kasus Jiwasraya hingga Kinerja Selama Covid-19

Kompas.com - 04/07/2020, 08:02 WIB
Fika Nurul Ulya,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Isu penarikan fungsi pengawasan perbankan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada Bank Indonesia kembali santer, usai desas-desus yang sama terjadi pada Januari lalu.

Seperti diketahui, BI bertindak sebagai regulator dan pengawas bank sebelum OJK mengambil peran secara resmi pada tahun 2013. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Mengutip Reuters, Jumat (3/7/2020), Presiden RI RI Joko Widodo tengah mempertimbangkan untuk mengeluarkan dekrit darurat. Dekrit darurat bertujuan untuk mengembalikan regulasi perbankan ke kewenangan bank sentral, yakni Bank Indonesia.

Baca juga: Mengenai Isu Pemangkasan Fungsi Pengawasan OJK, Ini Tanggapan Kemenkeu

Menurut sumber yang mengatakan kepada Reuters, Presiden mengambil pertimbangan karena merasa tidak puas dengan kinerja OJK selama pandemi Covid-19.

"BI sangat senang mengenai hal ini, tetapi akan ada tambahan untuk KPI (Key Performance Indicator). Akan diberitahu untuk tidak hanya menjaga mata uang dan inflasi, tetapi juga pengangguran," kata orang kedua, merujuk pada KPI dikutip Reuters, Jumat (3/7/2020).

Menurut seorang sumber, pemerintah saat ini tengah melihat struktur di negara Perancis, yang memiliki otoritas administratif independen di bawah bank sentral yang mengawasi perbankan.

Dua orang sumber ini diberi pengarahan tentang masalah tersebut dan meminta tidak diidentifikasi karena sensitivitas masalah.

Komentar OJK

Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK, Anto Prabowo menanggapi, isu tersebut tak jelas dari mana sumbernya. Dia tidak ingin berandai-andai tentang pembubaran OJK.

"Kan saya enggak boleh berandai-andai karena belum tahu. Intinya semua lembaga bekerja berdasarkan UU, maka kita harus menjalankan UU dengan konsekuen sampai dengan apa yang dimaksudkan UU tercapai," kata Anto dalam keterangannya kepada wartawan.

Hingga kini, pihaknya hanya fokus pada gerak cepat untuk pemulihan ekonomi. Bahkan sebelum muncul Perppu Nomor 1 Tahun 2020, OJK telah berkomitmen mengeluarkan kebijakan restrukturisasi yang nilai insentifnya telah mencapai Rp 97 triliun.

"Harapan OJK, ini saatnya kembali untuk menggerakkan sektor riil. Tanpa bergeraknya sektor riil, segala yang dilakukan akan juga menghadapi hambatan. OJK saat ini fokus itu saja dulu. Tidak fokus pada hal-hal yang lainnya," papar Anto.

Disinggung Jokowi

Santernya isu pembubaran OJK terjadi saat Presiden RI Joko Widodo terlihat jengkel kepada jajarannya saat membuka sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6/2020).

Hal itu terungkap melalui video yang tayang di akun YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (28/6/2020).

Dalam rapat, Jokowi lantas menyampaikan ancaman resuffle hingga pembubaran lembaga bagi pihak yang masih bekerja biasa-biasa saja.

"Bisa saja membubarkan lembaga. Bisa saja reshuffle. Sudah kepikiran ke mana-mana saya," seru Jokowi.

Baca juga: Isu Peleburan ke BI Kembali Mencuat, OJK: Enggak Boleh Mengandai-andai

Adapun jengkelnya Jokowi disebabkan oleh beberapa anggaran penanganan Covid-19 belum terserap dengan baik. Dua di antaranya yakni anggaran kesehatan dan bantuan sosial.

Menurutnya, sejumlah menteri masih menganggap situasi pandemi saat ini bukan sebuah krisis. 

Tidak Gegabah

Pembubaran lembaga OJK membuat berbagai pihak ikut menanggapi. Ekonom Indef, Bhima Yudhistira menilai, sebaiknya Presiden tidak gegabah untuk membubarkan OJK.

Tindakan yang gegabah akan memberikan dampak yang besar terhadap kepercayaan investor dan nasabah di industri jasa keuangan.

“Apabila peran OJK dikembalikan ke pengawasan BI maka ada sinyal bahwa perbankan tengah mengalami krisis yang sudah terlalu berat,” tandas Bhima saat dihubungi Kontan, Jumat (3/7/2020).

Permasalahan lain yang juga akan muncul adalah terkait adaptasi dari budaya organisasi yang berbeda. Menurutnya, tidak semudah itu Sumber Daya Manusia di OJK dan BI disatukan.

Sebab ada perbedaan cara kerja dan budaya internal akan membuat masa adaptasi berjalan lambat.

Sementara BI yang juga memiliki beban dan tugas baru semakin tidak fokus antara stabilitas moneter dan pengawasan bank.

“Jika ada masalah terkait kelembagaan maka solusi terbaiknya dengan melakukan perombakan internal OJK, harus ada penyegaran,” tutupnya. 

Diusulkan DPR

Pembubaran OJK menjadi santer usai terbongkarnya mega skandal PT Asuransi Jiwasraya. Hal itu membuat salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan peleburan OJK pada Januari lalu.

Saat itu DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) Industri Jasa Keuangan yang salah satunya membahas kinerja lembaga-lembaga jasa keuangan.

Di dalam proses evaluasi, Komisi XI membuka berbagai opsi mengenai kebijakan dan otoritas OJK, termasuk mengembalikan fungsi OJK sebagai pengawas perbankan ke Bank Indonesia (BI).

"Terbuka kemungkinan. OJK kan atas kerja Komisi XI dulu dipisahkan ke BI. Kan gitu, apa kemungkinan dikembalikan ke BI? Bisa saja. Di Inggris, di beberapa negara sudah terjadi. Ini evaluasi," ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Eriko Sotarduga.

Waktu itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso sempat menanggapi santai. Dia fokus untuk tetap berusaha bekerja secara profesional.

"Tanya yang ngomong dong, kok tanya ke saya. Kami akan bekerja profesional. Ya kami bekerja profesional independen," katanya beberapa waktu lalu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com