Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekurangan Pengawasan Bank di Luar BI Telah Dikaji Sebelum OJK Dibentuk

Kompas.com - 04/07/2020, 10:45 WIB
Fika Nurul Ulya,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Isu peleburan fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali ke Bank Indonesia, dalam hal ini pengawasan perbankan, kembali mencuat.

Isu tersebut dikaitkan dengan kejengkelan Presiden RI Joko Widodo saat membuka sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6/2020).

Dalam sidang, Jokowi melemparkan ancaman berupa resuffle menteri hingga pembubaran lembaga bagi pihak yang masih bekerja biasa-biasa saja di tengah wabah pandemi Covid-19.

Adapun fungsi pengawasan OJK sebagai lembaga pengawasan sudah dikaji bertahun-tahun lalu oleh Tim Kerjasama Penelitian Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada & Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia.

Baca juga: Isu Peleburan OJK, Gara-gara Kasus Jiwasraya hingga Kinerja Selama Covid-19

Kajian itu terbit pada 23 Agustus 2010. Sementara OJK secara resmi mengambil peran pada tahun 2013, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Dari dokumen kajian UI dan UGM yang diperoleh Kompas.com diketahui, para peneliti menyarankan lembaga pengawasan perbankan sebaiknya tetap dilaksanakan bank sentral, yakni Bank Indonesia.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan, yaitu memerlukan biaya yang besar dan waktu transisi yang lama.

Argumen yang lebih utama adalah pencegahan risiko krisis yang disebabkan oleh pengawasan yang nonoptimal pada masa transisi.

Selain itu mengacu pada hasil survei cross country yang diselenggarakan oleh IMF, pengawasan keuangan di bawah OJK ternyata tidak sepenuhnya menjamin sistem keuangan berjalan lancar.

"Pengawasan makro dan mikro sektor perbankan tetap dilaksanakan oleh Bank Indonesia, yang telah memiliki tenaga ahli dan teknologi yang dibutuhkan dengan mendirikan lembaga pengawasan perbankan yang berada di bawah bank sentral," tulis kajian itu yang dikutip Kompas.com, Sabtu (4/7/2020).

Mencontoh FSA

Menurut kajian tersebut, struktur OJK yang saat itu diusulkan dalam RUU OJK identik dengan struktur FSA (Financial Services Authority) di Britania Raya. Namun FSA gagal melaksanakan fungsinya.

Baca juga: Mengenai Isu Pemangkasan Fungsi Pengawasan OJK, Ini Tanggapan Kemenkeu

Pengalihan fungsi pengawasan sektor perbankan dari BI ke OJK membuat BI tak lagi mengawasi perbankan secara langsung. Padahal stabilitas moneter seringkali tidak bisa dipisahkan terhadap stabilitas sistem keuangan.

"Krisis ekonomi akibat subprime-mortgage yang kemudian memaksa pemerintah AS mem-bailout Bear Stern, AIG, maupun pemerintah Inggris mem-bailout Northern Rock, Lloyd TSB, Royal Bank of Scotland, dan pemerintah Jerman mem-bailout Hyppo Real Estate membuktikan bahwa instabilitas sistem keuangan berdampak terhadap instabilitas moneter," tulis kajian.

Hasil eksperimen yang tertuang dalam kajian juga menunjukkan, individu Indonesia cenderung bersikap rasional dalam pengambilan keputusan. Dengan desain payoffs tertentu, sebagian besar memilih tidak mau berkoordinasi. Belum lagi biaya koordinasi di RI yang tinggi.

"Oleh karena itu, sistem pengawasan yang dilakukan oleh banyak lembaga cenderung meningkatkan kerentanan perekonomian terhadap krisis. Sedangkan sistem terpadu menunjukkan adanya sentralisasi pengawasan," sebutnya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com