Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan mengatakan, kebijakan tersebut dinilai diskriminatif.
Sebab, kebijakan Komisi Eropa itu hanya menyasar minyak kelapa sawit saja dan mengecualikan minyak nabati lain.
"Padahal soya oil membutuhkan lahan yang delapan kali lebih besar," ujar dia.
Dia pun mengatakan saat ini pihak pemerintah dan tim yang masuk dalam proses gugatan termasuk para pengusaha sawit tengah membentuk tim panel untuk sidang di WTO.
Baca juga: Petinggi Bank-bank Papan Atas Nasional Temui Menko Perekonomian, Apa yang Dibahas?
Gugatan diajukan lantaran pihaknya menilai industri sawit di Indonesia telah memenuhi ketentuan yang berlaku secara internasional.
Gugatan atas industri sawit terhadap Uni Eropa pun sebelumnya sudah pernah dilakukan pada tahun 2018 lalu, saat industri sawit RI dituduh melakukan dumping atau menjual harga lebih murah di luar negeri dibanding harga di dalam negeri.
"Saat itu standar yg digunakan dari Jerman, mereka hitung ternyata biodiesel indo bisa mengurangi emisi lebih dari 50 persen. Sehingga ekspor luar biasa 1,8 juta ton di 2014," jelas Paulus.
"Kemudian mereka tuduh kita subsidi, dan menuduh lagi karena dumping. Kami ke WTO dan menang di 2018. Kemudian syaratnya naik (pengurangan emisi) engga hanya 35 persen tapi hampir 50 persen, kita bisa memenuhi lagi," ujar dia.
Baca juga: 5 Orang Paling Tajir di Indonesia Berkat Sawit
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.