Oleh: Frangky Selamat
RASANYA tidak ada satu pun bisnis yang tidak terdampak oleh pandemi Covid 19. Jika ada yang terdampak positif, lebih banyak yang berakibat negatif. Bisnis waralaba adalah salah satunya yang terpukul keras akibat pandemi ini.
Berita mengenai tutupnya sejumlah gerai, terutama di mal, hingga mencapai puluhan cabang, merebak. Penutupan gerai dibarengi dengan merumahkan pegawai, menjadi dampak turunan selanjutnya. Waralaba yang kebanyakan bergerak dalam bidang food and beverages (F & B) menjadi tidak berdaya.
Jika sejumlah perusahaan waralaba besar masih bisa bertahan dengan kekuatan modalnya, berbeda cerita dengan waralaba nasional yang bermodal menengah hingga pas-pasan.
Seorang pewaralaba (franchisor) nasional misalnya berkisah bagaimana nasib bisnis waralaba yang sebelum pandemi masih sempat ekspansi dengan membuka sejumlah gerai di berbagai tempat, mal dan destinasi wisata. Bahkan sempat memperpanjang kontrak sewa di sebuah mal di Jakarta selama setahun di awal 2020.
Baca juga: Pemegang Waralaba Pizza Hut Terbesar di AS Terancam Bangkrut
Belum sempat mengecap manisnya keuntungan, virus Covid-19 merebak ke seluruh Indonesia. Kontrak setahun di mal serasa menguap begitu saja. Tidak bisa beroperasi dan tutup. Hanya dalam waktu tiga bulan sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020, 80 gerai ditutup sementara atau selamanya.
Mal yang kini telah dibuka pun ternyata belum cukup untuk mengembalikan pengunjung ke sediakala. Pengunjung sepertinya masih takut untuk membeli atau makan di tempat, atau daya beli yang sedang merosot.
Sang pewaralaba pun mengaku pusing tujuh keliling. Tidak menyangka dampak Covid-19 yang luar biasa dahsyat dan meluluhlantakan bisnis yang telah dibangun belasan tahun hanya dalam tiga bulan saja.
Melihat kondisi demikian, lalu apa yang mesti dikerjakan?
Pewaralaba itu kembali berkisah. Dalam tiga bulan pertama sejak bulan Maret 2020 lalu, arus kas perusahaan menjadi fokus utama, terutama yang berkaitan dengan pembayaran gaji dan persiapan THR Lebaran pada waktu itu.
Bisa dibilang tidak ada keuntungan tersisa untuk para terwaralaba (franchisee), selain harus menombok bayar gaji karyawan dan THR.
Karyawan yang terbilang senior karena loyalitas bekerja, mati-matian dipertahankan, dengan gaji minimal. Karyawan yang lain, sementara dirumahkan. Sebagian gerai yang tidak terselamatkan, karyawan terpaksa diberhentikan.
Kas perusahaan selaku pewaralaba merosot hingga 40% dari kondisi aman. Penerimaan royalti nyaris nol karena tidak ada penjualan. Apalagi franchise fee, karena tidak ada lagi pembukaan gerai. Virus Covid-19 benar-benar telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan perusahaan.
Ketika PSBB mulai dilonggarkan dan sebagian gerai bisa dibuka kembali, ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Sang pewaralaba kembali memutar otak untuk mempertahankan kelangsungan usaha.
Jika dalam teori, sejumlah pakar mengemukakan perlunya mengubah atau memodifikasi model bisnis, hal itu mulai dilakukan.
Sebagaimana diketahui model bisnis adalah rasionalisasi mengenai bagaimana sebuah usaha menciptakan, memonetisasi (menghasilkan keuntungan) dan menyampaikan value kepada pelanggan.
Jika mengacu pada kanvas model bisnis dari Osterwalder dan Pigneur (2012) terdapat sembilan blok yang menjadi pilar sebuah usaha yaitu:
Pada kondisi sekarang, banyak bisnis waralaba memodifikasi value proposition. Kepedulian terhadap kebersihan dan kesehatan menjadi perhatian semua pihak. Bukan berarti selama ini tidak peduli, namun kini menjadi perhatian ekstra pelanggan. Bagaimana produk tersebut diproses dan disajikan yang harus memenuhi syarat-syarat kesehatan, yang kini kita akrab dengan istilah “protokol kesehatan”.
Juga bagaimana pewaralaba menyampaikan produk kepada pelanggannya (channel). Pembukaan gerai fisik terutama di mal harus dikaji dengan matang atau tidak untuk sementara waktu.
Ini memang tidak mudah karena sebagian waralaba terutama yang lokal dan menengah tidak terlalu siap untuk berbisnis secara daring dan delivery. Kabarnya juga berjualan secara online belum bisa menyamai membuka gerai offline. Penyebabnya masih perlu dikaji lebih lanjut.
Prospek bisnis waralaba F & B, yang menjual makanan dan minuman siap saji, pun dirasa tidak terlalu bagus lagi. Sebagian pebisnis, mulai beralih ke frozen food. Ada yang berhasil, sebagian tidak memenuhi harapan.
Jika ini yang dilakukan, model bisnis bisa jadi berubah total. Customer segment, bisa sama, kemungkinan berbeda. Value proposition pasti berubah. Belum lagi aspek yang lain seperti channel, relationship, key asset, key activities, key partner dan sebagainya. Tentu sedikit banyak berubah.
Segala upaya memang dilakukan untuk menyelamatkan bisnis waralaba. Waralaba lokal yang memang tidak “seperkasa” waralaba asing, tidak perlu berkecil hati karena waralaba besar pun mengalami pukulan yang tidak kalah keras.
Jika segala upaya telah dilakukan dengan maksimal, dalam situasi seperti sekarang, tentu doa tidak boleh dilupakan. Semoga pandemi ini cepat berlalu.
Frangky Selamat
Dosen tetap Program Studi S1 Manajemen Bisnis Universitas Tarumanagara
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.