Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bank Dunia: Lonjakan Utang Bisa Hambat Proses Pemulihan Ekonomi

Kompas.com - 16/07/2020, 15:06 WIB
Mutia Fauzia,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pandemi virus corona (Covid-19) kebutuhan pembiayaan utang pemerintah meningkat.

Pasalnya, pemerintah perlu meningkatkan belanja negara untuk penanganan pandemi virus corona (Covid-19). Di sisi lain, penerimaan negara juga diproyeksi sulit mencapai target lantaran dunia usaha yang tertekan di tengah pandemi.

Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan belanja tersebut pemerintah melakukan pembiayaan utang. Namun demikian, Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander mengatakan pemerintah perlu berhati-hati dalam mengelola utang tersebut.

Baca juga: Peliknya Keuangan Garuda: Utang Rp 31,9 Triliun, Kas Rp 210 Miliar

Pasalnya, jika terjadi lonjakan utang yang tidak terkendali, justru bisa jadi hambatan dalam proses pemulihan ekonomi.

"Jika ini tidak dikelola dengan baik, maka stabilitas makroekonomi di Indonesia yang merupakan pilar itu juga menjadi tantangan tersendiri. Itu akan hambat jalan menuju pemulihan," ujar Frederico, Kamis (16/7/2020).

Menurut dia, agar kurva utang bisa lebih terkendali, maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah. Yakni, penyaluran subsidi yang lebih saasaran.

Misalnya, mengenai subsidi LPG yang seharusnya bisa dikelola dengan lebih baik sehingga uang yang digelontorkan bisa dialokasikan di pos lain.

"Subsidi di sini dilihat belum tepat sasaran, seperti elpiji dan lainnya. Ini bisa dialokasikan ulang, jadi subsidi seperti itu bisa dialihkan ke lain," katanya.

Selain itu, pemerintah juga dinilai perlu melakukan reformasi perpajakan. Peningkatan rasio pajak dinilai bisa memperkuat pemulihan ekonomi domestik.

Baca juga: BPK Soroti Rasio Utang Pemerintah terhadap PDB di 2019 yang Capai 30,23 Persen

Dia melanjutkan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak. Salah satunya adalah penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan pada sektor digital.

"Kemudian, kita bisa tingkatkan pajak cukai untuk produk tembakau, plastik, dan produk berpemanis tinggi lainnya karena ini berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan," jelasnya.

Untuk diketahui, Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada akhir tahun hanya sebesar 0 persen. Bahkan, perekonomian RI bisa terkontraksi lebih dalam hingga -2 persen bila terjadi gelombang kedua pandemi.

Perekonomian Indonesia bun diperkirakan kembali pulih di tahun depan. Perekonomian diprediksi mencapai 4,8 persen.

Sementara, di Perpres 72 Tahun 2020, pendapatan negara tahun ini ditargetkan Rp 1.699,1 triliun, belanja negara Rp 2.738,4 triliun. Sehingga defisit APBN 2020 sebesar Rp 1.039,2 triliun atau setara dengan 6,34 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Untuk menutup defisit tersebut, pemerintah menetapkan pembiayaan utang mencapai Rp 1.645,3 triliun. Ada penambahan utang Rp 903,46 triliun dari awal APBN 2020 saat defisit ditargetkan 1,76 persen dari PDB.

Baca juga: Di DPR, Erick Thohir Tagih Utang Pemerintah Rp 113 Triliun ke 7 BUMN

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com