Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Diminta Percepat Belanja Kementerian, Untuk Apa?

Kompas.com - 17/07/2020, 18:12 WIB
Fika Nurul Ulya,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, meminta pemerintah untuk mempercepat belanja-belanja di kementerian.

Mempercepat belanja mampu menciptakan sisi permintaan (demand side) sehingga pangsa penyaluran kredit menjadi lebih banyak. Apalagi saat ini, pemerintah maupun bank sentral telah menyediakan likuiditas yang cukup untuk perbankan.

"Kita tidak perlu memaksakan mereka (sektor riil) dapat kredit, tapi bagaimana belanja pemerintah dapat tepat waktu. Misalnya sekarang belanja kesehatan baru 1 persen, BLT dan bansos belum tepat sasaran. Belanja APBD dipercepat, menimbulkan demand, dan ruang kredit ada," kata Aviliani dalam diskusi daring, Jumat (17/7/2020).

Aviliani menilai, saat ini kebijakan pemerintah dalam mempercepat belanja belum terealisasi. Padahal kebijakan dari sisi penyaluran, seperti restruktrusisasi kredit, pemberian kredit baru, hingga penjaminan kredit modal kerja UMKM hingga Rp 10 miliar gencar digelontorkan.

Baca juga: Jokowi: Hanya Belanja Pemerintah yang Mampu Gerakkan Ekonomi Saat Ini

Kebijakan dari sisi penyaluran ini tidak akan maksimal bila sisi permintaan melalui percepatan belanja tidak diciptakan.

Apalagi pemerintah telah meminta perbankan, utamanya bank-bank Himbara untuk menyalurkan kredit 3 kali lipat atau Rp 90 triliun dari dana yang ditempatkan sebesar Rp 30 triliun.

"Problemnya adalah sisi demand. Kalau tidak ada demand, pasti kredit tidak ada yang minta. Padahal (target) kredit yang diminta cukup tinggi oleh pengawas. Jangan supply side saja, tapi demand side yang ditingkatkan," tutur Aviliani.

Jika permintaan tidak diciptakan namun penyaluran kredit dipaksakan dia khawatir kredit macet bank bakal meningkat dalam kurun waktu 1-2 tahun kemudian.

"Pendapatan sektor riil yang berkurang akibatnya tidak bisa mengangsur kredit, maka yang ditakutkan adalah rasio NPL dan likuiditas," pungkas Aviliani.

Baca juga: Presiden hingga Pejabat Eselon II Tak Dapat THR, Belanja Pegawai Turun

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com