Per 17 Juli 2020, total kasus Covid-19 di China mencapai 83.660 dan meninggal 4.634 orang. Sementara itu di AS, total kasus mencapai 3.833.716 dan meninggal 142.881 orang
Dengan menggunakan COVID-19 sebagai acuan, seharusnya kinerja saham di Amerika Serikat akan negatif dan kinerja saham di China akan positif.
Berdasarkan kinerja Shanghai Stock Exhange Composite Index (SHCOMP) sebagai acuan untuk saham China dan Index S&P 500 (SPX) sebagai acuan untuk saham Amerika Serikat, dari awal tahun hingga 17 Juli 2020 yang diambil dari situs Bloomberg, sebagai berikut:
Kinerja Year To Date 17 Juli 2020 Indeks Komposit Shanghai vs S&P 500
Sejak awal tahun, kinerja SHCOMP ternyata sudah positif 5,38 persen sesuai dengan pemulihan ekonomi dan aktivitas di sana. Sementara SPX juga sudah hampir kembali ke level awal tahun dengan pertumbuhan -0.19 persen.
Sebagai gambaran, Indonesia sendiri yang belum menunjukkan tanda-tanda kasus melandai dan PSBB yang masih diperpanjang, sejak awal tahun hingga tanggal 17 Juli 2020 membukukan kinerja -20,56 persen.
Mengapa kinerja saham di Amerika Serikat bisa pulih dengan cepat, walaupun COVID-19 masih menjadi masalah besar di negara tersebut?
Untuk COVID-19, memang benar untuk kasus penderita baru mengalami pertambahan. Namun untuk tingkat kematian mengalami perkembangan positif dari yang sebelumnya di atas 2000 orang per hari menjadi di bawah 1000 orang per hari.
Kemudian dengan banyaknya kasus pasien dengan gejala ringan atau tidak ada gejala sama sekali, membuat sebagian dari perekonomian tetap berjalan seperti biasa. Dengan demikian, perekonomian tidak benar-benar berhenti seluruhnya.
Baca juga: New Normal, Harapan Pemerintah Pulihkan Ekonomi dari Dampak Pandemi
Dalam konteks pasar modal, nilai / harga dari indeks saham merupakan faktor dari permintaan dan penawaran. Jika permintaan lebih besar dari penawaran, maka harga akan naik. Sebaliknya jika permintaan lebih sedikit dari penawaran, maka harga akan turun.
COVID-19 membuat Bank Sentral di Amerika Serikat mengucurkan stimulus terbesar dalam sejarah ke sektor keuangan dan sektor riil. Bentuk stimulus bisa dalam bentuk relaksasi syarat pinjaman, pemberian pinjaman, hingga bantuan langsung tunai.
Stimulus ini membuat uang yang beredar di masyarakat bertambah. Dalam konteks pasar modal, uang beredar sama dengan permintaan. Secara tidak langsung, kebijakan stimulus membuat permintaan lebih besar dari penawaran sehingga harga paper asset seperti saham mengalami kenaikan.
Mengapa IHSG di Indonesia belum pulih di awal tahun meskipun bank sentral juga melakukan kebijakan yang sama?
Dalam kondisi ketidakpastian , dana asing cenderung akan lebih memilih untuk membeli aset di negara maju dibandingkan negara berkembang (flight to quality). Dengan hanya ditopang oleh dana investor individu dan institusi lokal, IHSG memang bisa naik tapi cenderung terbatas.
Dan ketika situasi sudah membaik dan dana asing kembali masuk, maka kombinasi dari investor lokal dan asing baru bisa membuat IHSG mengalami kenaikan lebih cepat.
Faktor COVID-19 memang akan menjadi penghambat kenaikan. Namun seiring dengan berjalannya waktu, bukan lagi menjadi satu-satunya penyebab harga saham naik turun.
Demikian artikel ini, semoga bermanfaat
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.