JAKARTA, KOMPAS.com - Pandemi virus corona mendorong terjadinya disrupsi bisnis, namun pada saat yang sama juga meningkatkan risiko penipuan siber.
Penyebabnya beragam, salah satunya adalah banyaknya pegawai yang bekerja dari luar kantor menggunakan teknologi, sehingga meningkatkan risiko keamanan siber lantaran trafik penggunaan internet yang berkali lipat.
Selain itu, stimulus yang dikeluarkan untuk memutar kembali roda perekonomian di berbagai negara menimbulkan banyak celah untuk terjadinya fraud alias penipuan.
Baca juga: Tahun 2019, Ada 2.300 Laporan Penipuan Online
Grant Thornton, perusahaan penyedia jasa audit, pajak, dan advisory baru-baru ini melakukan polling kepada 615 orang terkait latar belakang profesi seperti CFO, controller, akuntan, auditor internal, analis keuangan dan profesional pajak untuk melihat gambaran peningkatan penipuan selama pandemi corona.
Dalam survei tersebut terlihat 17 persen dari responden telah mengalami fraud sepanjang pandemi dan hanya 18 persen responden yang telah memiliki rencana penanggulangan fraud di masa pandemi Covid–19 ini.
Mereka juga berpendapat ada tiga peretasan yang dirasa paling berbahaya saat ini, yaitu pengambilalihan akun, penipuan berbasis aplikasi serta ancaman dari orang dalam.
Johanna Gani, Managing Partner Grant Thornton Indonesia mengungkapkan, berbagai indikasi menunjukkan penipuan siber memiliki risiko untuk terus meningkat beberapa bulan mendatang, bahkan saat memasuki fase new normal.
"Beberapa langkah perlu dilakukan agar perusahaan dapat menghadapi ancaman gelombang peretasan berikutnya, melindungi aset mereka secara keseluruhan, dan memastikan tersedianya sumber daya untuk menghadapi berbagai gangguan penipuan siber tersebut," ujar Johanna dalam keterangan tertulis, Kamis (23/7/2020).
Baca juga: Bisnis Keamanan Siber Diprediksi Bakal Tumbuh di Indonesia
Menurut dia, saat ini manajemen perusahaan perlu dua kali lipat lebih waspada dan memprioritaskan pembangunan sistem perlindungan yang memadai untuk menghindari ancaman kerugian yang lebih besar.
Grant Thornton memaparkan lima langkah yang akan membantu membendung risiko peretasan yang dihadapi perusahaan.
Perlu menunjuk ahli anti-peretasan dalam perusahaan untuk memimpin tim ini. Orang tersebut harus memiliki akuntabilitas untuk semua program anti-peretasan terkait pandemi.
"Mungkin saja orang atau tim tersebut bisa saja sudah menjadi bagian dari perusahaan namun pastikan bahwa ini bukanlah tugas biasa, karena mereka akan bertanggung jawab untuk beradaptasi dan melakukan eksekusi dengan cepat," ungkap Johanna.