Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemulihan Ekonomi Global Butuh Kerja Sama Multilateral

Kompas.com - 23/07/2020, 20:39 WIB
Yohana Artha Uly,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 membuat negara-negara melakukan penutupan wilayah (lockdown) dan cenderung memproteksi perdagangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Akibatnya perekonomian global pun terpukul.

Mantan kepala ekonom Dana Moneter Internasional (IMF) Raghuram G Rajan mengatakan, dalam kondisi demikian ekonomi negara-negara berkembang paling terdampak. Lantaran, kemampuan fiskal yang dimiliki lebih terbatas.

Baca juga: Sri Mulyani Sebut Perekonomian Mulai Bergeliat, Ini Indikatornya

"Untuk negara berkembang, ada risiko sangat besar kalau mereka justru akan tenggelam, seperti Peru, Meksiko, Brazil, India, dan lainnya," ujarnya dalam diskusi virtual DBS Asian Insight Conference 2020, Kamis (23/7/2020).

Pemulihan ekonomi global pun harus segera dilakukan, khususnya pada negara-negara berkembang. Ini dapat dilakukan dengan mendorong investasi dan meningkatkan perdagangan global.

"Kalau mereka (negara berkembang) tidak bisa memberikan stimulus fiskal ke dalam negeri, maka pemulihan pertumbuhan ekonomi itu datang dari luar. Itulah mengapa sangat penting investasi global dan pergadangan harus terbuka selama beberapa tahun kedepan," kata mantan gubernur bank sentral India itu. 

Oleh sebab itu, sudah seharusnya sejumlah negara tidak memproteksi perdagangan terlalu ketat, melainkan meningkatkan arus perdagangan global.

Baca juga: IMF: Covid-19 Sebabkan Perekonomian Global Rugi Rp 168.000 Triliun

Hal ini hanya bisa dilakukan jika para pemimpin negara mau terlibat bersama mendorong perdagangan dan memulihkan rantai pasok global. Terutama Amerika Serikat (AS) dan China yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia.

"Multilateral memiliki peran besar di sini, karena sektor swasta akan bisa maju, jika penjabat negaranya memberikan dorongan, jadi ini harus datang dari mereka (para pemimpin negara)," ungkapnya.

Sebelum pandemi, proteksi perdagangan memang sudah dilakukan oleh AS dan China, keduanya melakukan perang dagang dengan pengenaan tarif sejumlah komoditas. 

Rajan menilai, sudah saatnya kedua negara mengakhirinya untuk mendorong pemulihan ekonomi global.

"Pada titik ini akan sangat bijaksana (mengakhiri proteksi perdagangan). Oleh sebab itu, sebetulnya ada peran besar yang dimainkan pemimpin di tingkat global, terutama bersatunya dua negara yang penting tersebut," kata dia.

Raghuram mengatakan, dengan adanya pemilu presiden di AS pada tahun ini diharapkan bisa mendorong terbentuknya kebijakan yang menjadi titik balik dari penyelesaisan persoalan perang dagang ini.

 

Baca juga: Menkeu Selandia Baru: Kondisi Perekonomian Lebih Baik dari yang Diproyeksi

Di sisi lain, peran negara-negara lainnya juga dibutuhkan untuk memediasi AS dan China.

"Negara-negara lain yang lebih kecil ini, bisa mendorong mereka bisa bersatu dalam dialog tertentu. Jadi bukan dengan bilateral tapi multilateral dalam menangani hal tersebut (pemulihan ekonomi global)," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BCA Finance Buka Lowongan Kerja untuk D3-S1 Semua Jurusan, Cek Syaratnya

BCA Finance Buka Lowongan Kerja untuk D3-S1 Semua Jurusan, Cek Syaratnya

Work Smart
Pemerintah Sebut Tarif Listrik Seharusnya Naik pada April hingga Juni 2024

Pemerintah Sebut Tarif Listrik Seharusnya Naik pada April hingga Juni 2024

Whats New
Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Jasa Marga: 109.445 Kendaraan Tinggalkan Jabotabek Selama Libur Panjang Paskah 2024

Whats New
Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Survei Prudential: 68 Persen Warga RI Pertimbangkan Proteksi dari Risiko Kesehatan

Earn Smart
7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

7 Contoh Kebijakan Fiskal di Indonesia, dari Subsidi hingga Pajak

Whats New
'Regulatory Sandbox' Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

"Regulatory Sandbox" Jadi Ruang untuk Perkembangan Industri Kripto

Whats New
IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

IHSG Melemah 0,83 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Susut

Whats New
Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di Seluruh ATM BRI

Whats New
Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Genjot Layanan Kesehatan, Grup Siloam Tingkatkan Digitalisasi

Whats New
Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Pelita Air Siapkan 273.000 Kursi Selama Periode Angkutan Lebaran 2024

Whats New
Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Puji Gebrakan Mentan Amran, Perpadi: Penambahan Alokasi Pupuk Prestasi Luar Biasa

Whats New
Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Pengertian Kebijakan Fiskal, Instrumen, Fungsi, Tujuan, dan Contohnya

Whats New
Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Ekspor CPO Naik 14,63 Persen pada Januari 2024, Tertinggi ke Uni Eropa

Whats New
Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

Tebar Sukacita di Bulan Ramadhan, Sido Muncul Beri Santunan untuk 1.000 Anak Yatim di Jakarta

BrandzView
Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com