Rupiah yang melayang, selain akibat meningkatnya permintaan dollar untuk membayar utang, juga sebagai reaksi terhadap angka-angka RAPBN 1998/ 1999 yang diumumkan 6 Januari 1998 dan dinilai tak realistis.
Krisis yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi ini dengan cepat merambah ke semua sektor.
Baca juga: Daftar 5 Negara yang Masuk Jurang Resesi
Anjloknya rupiah secara dramatis, menyebabkan pasar uang dan pasar modal juga rontok, bank-bank nasional dalam kesulitan besar dan peringkat internasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah terus merosot ke level di bawah junk atau menjadi sampah.
Ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bangkrut. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut.
Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pengangguran melonjak ke level yang belum pernah terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang atau 20 persen lebih dari angkatan kerja.
Akibat PHK dan naiknya harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Banyak orang menyerbu toko-toko sembako dalam suasana kepanikan luar biasa, khawatir harga akan terus melonjak.
Baca juga: Hindari Resesi, Pemerintah Bakal Belanja Besar-besaran
Pendapatan per kapita yang mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088 dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998, dan dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik.
Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan, perekonomian yang masih mencatat pertumbuhan positif 3,4 persen pada kuartal ketiga 1997 dan nol persen kuartal terakhir 1997.
Lalu terus menciut tajam menjadi kontraksi sebesar 7,9 persen pada kuartal I 1998, 16,5 persen kuartal II 1998, dan 17,9 persen kuartal III 1998. Demikian pula laju inflasi hingga Agustus 1998 sudah 54,54 persen, dengan angka inflasi Februari mencapai 12,67 persen.
Di pasar modal, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, 292,12 poin, pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Sementara kapitalisasi pasar menciut drastis dari Rp 226 trilyun menjadi Rp 196 trilyun pada awal Juli 1998.
Baca juga: Pemerintah: Indonesia Punya Peluang Selamat dari Jurang Resesi
Di pasar uang, dinaikkannya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) menjadi 70,8 persen dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) menjadi 60 persen pada Juli 1998 (dari masing-masing 10,87 persen dan 14,75 persen pada awal krisis).
Hal ini menyebabkan kesulitan bank semakin memuncak. Perbankan mengalami negative spread dan tak mampu menjalankan fungsinya sebagai pemasok dana ke sektor riil.
Di sisi lain, sektor ekspor yang diharapkan bisa menjadi penyelamat di tengah krisis, ternyata sama terpuruknya dan tak mampu memanfaatkan momentum depresiasi rupiah, akibat beban utang, ketergantungan besar pada komponen impor, kesulitan trade financing, dan persaingan ketat di pasar global.
Selama periode Januari-Juni 1998, ekspor migas anjlok sekitar 34,1 persen dibandingkan periode sama 1997, sementara ekspor nonmigas hanya tumbuh 5,36 persen.
Baca juga: Penasaran Berapa Kekayaan Ketua DPR Puan Maharani?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.