Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kepala BKPM Geregetan Izin Amdal Jadi Lahan Bancakan Oknum

Kompas.com - 04/08/2020, 20:31 WIB
Muhammad Idris

Penulis

Sumber Antara

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, menyebut izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) banyak yang "berhantu" alias menjadi ladang bagi oknum tidak bertanggungjawab untuk menarik keuntungan pribadi.

Bahlil bercerita mengenai investasi perkebunan senilai Rp 600 juta di lahan seluas 3.000 meter persegi yang harus direcoki dengan urusan perizinan Amdal, hingga menghabiskan biaya Rp 1 miliar.

"Amdal ini wajib, tapi kadang dibuat-buat juga. Contoh, investasi cuma 3.000 meter persegi, bikin kebun, cuma Rp 600 juta, tapi biaya amdal bisa Rp 1 miliar. Di mana itu uang habis? Di kabupaten, kota, polisi hutan, itu hantu itu mainnya," ucap Bahlil dilansir dari Antara, Selasa (4/8/2020).

Oleh karena itu, ia mengatakan pihaknya mendukung agar RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law bisa segera diselesaikan. Ia mengatakan dalam RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law itu, aturan mengenai amdal bukannya tidak ada, tapi disyaratkan dalam konteks perlindungan lingkungan.

Baca juga: Kepala BKPM: Lewat Omnibus Law, Izin UMKM Selembar Saja Selesai

Untuk usaha kelas menengah, lanjut dia, ada ketentuan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL). Sementara untuk usaha kelas besar tetap membutuhkan amdal, tapi dengan syarat yang tidak dibuat rumit.

"Kalau terlalu banyak dibuat ribet, itu enggak akan selesai-selesai apa yang jadi kepentingan pengusaha," ujar Bahlil.

Mantan Ketua Hipmi ini menambahkan, dalam konteks RUU Cipta Kerja, ia berharap akan ada kemudahan bagi investor mengurus perizinan di daerah.

Sebagai mantan pengusaha, Bahlil mengaku pengurusan perizinan lokasi di pemerintah daerah bisa memakan waktu hingga tahun dan belum tentu keluar izinnya. Demikian pula dalam hal pengurusan izin di kementerian/lembaga.

Baca juga: Kapan Vaksin Corona Tersedia di Indonesia? Ini Kata Pemerintah

"Maka sudah betul menurut saya kalau dalam Omnibus Law kalau izin ini semua ditarik dulu ke Presiden. Setelah itu izin dikembalikan ke gubernur, bupati, walikota, menteri, dan kepala badan, disertai dengan aturan main. Selama ini enggak ada aturan main. Supaya jangan lagi kita terhalang-halangi," kata Bahlil.

Bahlil berujar, pandemi virus corona atau Covid-19 memberikan pukulan telak terhadap perekonomian global. Hal tersebut mengakibatkan menurunnya potensi investasi baru khususnya penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) di berbagai negara.

Dia mengatakan, imbas dari pandemi Covid-19, potensi FDI di berbagai negara turun hingga 40 persen.

"Menurut beberapa data, bank dunia itu FDI-nya menurun 30 sampai 40 persen," ujar Bahlil.

Baca juga: Kepala BKPM: Dulu Investasi Pilih-pilih, Sekarang yang Penting Masuk

Oleh karenanya, untuk menggenjot realisasi investasi nasional, Bahlil menyebutkan perlu adanya langkah-langkah khusus di tengah pandemi global ini.

"Karena kondisi Covid tidak lagi kita memakai rujukan dengan cara-cara yang lazim. Harus di luar kelaziman," katanya.

Lebih lanjut, Bahlil mengakui, pihaknya cenderung lebih selektif dalam memberikan izin investasi kepada para pelaku usaha sebelum pandemi merebak. Namun, dengan munculnya Covid-19, BKPM mengizinkan kepada seluruh calon investor untuk menanamkan modalnya di dalam negeri.

"Kalau dulu masih milih-milih, sekarang dengan Covid ini, yang penting investasi masuk," ujar dia.

Baca juga: Mengenal Brebes, Pusat Telur Asin yang Kini Dilirik Donald Trump

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Antara
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com