Melalui skema itu, tentu pemerintah tidak lepas tanggung jawab. Namun, di saat yang bersamaan dukungan finansial masyarakat didorong melalui kenaikan iuran.
Iuran BPJS Kesehatan memang dapat dikatakan masih di bawah dari nilai iuran kesehatan yang ideal. Pasalnya, peserta BPJS Kesehatan mendapatkan manfaat perawatan kesehatan yang mencakup hampir seluruh jenis penyakit. Tentunya perawatan yang dimaksud pun juga terbatas pada daftar pembiayaan kesehatan yang tertuang dalam InaCBG’s.
Iuran kesehatan yang cukup rendah menjadikan manfaat kesehatan pun terbatas meski menjangkau hampir seluruh jenis penyakit. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan seharusnya diikuti dengan peningkatan kualitas dan manfaat layanan.
Pemerintah fokus pada ekonomi
Di tengah pandemi covid-19 ketahanan system kesehatan nasional sedang diuji dengan tren pasien positif yang masih terus bertambah. Bahkan, catatan kasus positif tertinggi mencapai 2.657 terkonfirmasi dalam sehari pada Kamis, 9 Juli 2020. Kasus fatality rate covid-19 di Indonesia masih berada di angka 4,74 per 15 Juli 2020.
Sementara di saat yang bersamaan, tagihan biaya perawatan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan banyak yang telah jatuh tempo. Ketepatan skema pembayaran biaya kesehatan kepada rumah sakit akan memengaruhi keberlangsungan rumah sakit baik swasta maupun pemerintah.
Maka, kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dinilai cukup penting bagi pemerintah dalam menunjang keberlangsungan pelayanan rumah sakit. Terlebih banyak rumah sakit yang menjadi rekanan BPJS Kesehatan pun menjadi rumah sakit rujukan untuk pasien covid-19.
Sayangnya, kebijakan stimulus untuk anggaran kesehatan mengalami penurunan share dari 19 persen menjadi 12 persen. Padahal anggaran stimuls yang diberikan pemerintah naik menjadi Rp 677,2 triliun dari yang semula Rp 405,2 triliun.
Kondisi itu menunjukkan penambahan alokasi anggaran untuk kesehatan lebih kecil dari total penambahan stimulus. Maka, tidak heran apabila persentase stimulus kesehatan terbilang cukup kecil dan menurun dibandingkan persentase sebelum penambahan stimulus.
Hal itu mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia telah berupaya mempersiapkan diri untuk pemulihan ekonomi kendati tingkat penularan secara nasional masih cukup tinggi.
Di sisi lain, kemampuan sistem kesehatan nasional perlu terus ditingkatkan agar antrean spesimen yang dites dapat semakin pendek. Namun, kemampuan tes Indonesia masih terbilang masih jauh dari harapan, hal ini berdampak pada banyaknya antrean spesimen.
Tentunya kondisi ini pula memunculkan kategori suspek (dahulu PDP). Tidak jarang pula pasien yang dinyatakan suspek telah meninggal terlebih dahulu dan hasil tesnya baru keluar kemudian.
Keberadaan kategori pasien suspek menunjukkan kapasitas pengecekan specimen di Indonesia masih jauh dari kata cukup apalagi ideal. Hal ini seharusnya jadi perhatian pemerintah dalam menambahkan kapasitas pengecekan specimen dan juga pelayanan kesehatan.
Jika peningkatan kapasitas tes covid-19 dilakukan maka pasien dalam kategori suspek seharusnya sudah tidak ada atau semakin sedikit, di saat yang bersamaan berpotensi semakin banyak masyarakat yang terkonfirmasi covid-19. Artinya, jika kita berasumsi bahwa setidaknya 50 persen pasien yang dikategorikan suspek terkonfirmasi maka jumlah pasien terkonfirmasi seharusnya lebih besar dari yang ada saat ini.
Di lain sisi, peningkatan kapasitas pengecekan spesimen pula akan menurunkan biaya perawatan kesehatan pasien terkonfirmasi. Biaya perawatan kesehatan untuk pasien terkonfirmasi di Indonesia terbilang cukup tinggi karena waktu perawatan yang lama akibat dari waktu tunggu hasil pengecekan spesimen.