Oleh: Dr Cokki
SAAT INI, batas antara hiburan dan iklan menjadi semakin kabur. Seseorang dapat menonton film, mendengar lagu, atau bermain video game tanpa menyadari keberadaan merek, produk, atau pesan di dalamnya.
Keberadaan merek, produk, atau pesan dalam konten hiburan merupakan praktik terencana yang disebut sebagai penempatan produk. Praktik ini dapat dilakukan oleh industri hiburan atau media dengan atau tanpa kompensasi berupa uang atau barang.
Salah satu literatur menyatakan bahwa praktik penempatan produk berawal dari novel berjudul 80 Days Around the World yang ditulis oleh Jules Verne pada tahun 1850 yang memuat nama perusahaan-perusahaan transportasi.
Pada film, penempatan produk pertama dilakukan oleh perusahaan Level Brothers di film-film Lumière pada tahun 1896 (Lehu, 2007).
Baca juga: Pengusaha Rokok Tolak Simplifikasi Cukai Rokok
Pada awalnya, kompensasi penempatan produk adalah pertukaran antara sponsor yang ingin mendapatkan paparan lebih untuk produk dan perusahaannya dan studio yang ingin mendapatkan properti gratis.
Penempatan produk juga dapat dilakukan tanpa kompensasi untuk menambah realisme dari suatu karya seni. Tetapi semua itu berubah setelah film ET dirilis pada tahun 1982.
Film ET adalah contoh kesuksesan penempatan produk yang banyak dikutip dalam berbagai literatur.
Penjualan permen cokelat yang digunakan dalam film tersebut meningkat pesat setelah film ditayangkan sekalipun mereknya tidak terlihat di dalam film.
Setelah kejadian ini, penempatan produk mulai dinilai sebagai potensi yang serius oleh perusahaan film dan sponsor yang ingin mempromosikan produk atau perusahaannya.
Karena banyak literatur yang memuat film ET sebagai contoh kesuksesan penempatan produk, mungkin kita tidak menyadari bahwa praktik penempatan produk sudah dilakukan oleh perusahaan rokok sejak tahun 1920.
Praktik pada masa itu dilakukan dalam bentuk aktor dan aktris merokok dalam film-film Hollywood (Schudson, 1984).
Perusahaan rokok menyadari bahwa praktik penempatan produk pada film lebih efektif dibandingkan dengan iklan karena penonton tidak menyadari keterlibatan sponsor dalam film dan rokok dapat diasosiasikan dengan "pahlawan" dalam film (Mekemson & Glantz, 2002).
Tidak adanya identifikasi sponsor dalam film menjadikan penonton lebih terbuka terhadap semua informasi, termasuk yang disponsori, dalam film.
Baca juga: Catatan BPS: Pengeluaran Rokok Lebih Besar dari Kebutuhan Beras
Penempatan produk rokok dapat mengurangi sikap negatif seseorang terhadap rokok dan mengubah sikap dari mereka yang tidak merokok menjadi lebih permisif terhadap rokok (Gibson & Maurer, 2000).
Konsumsi rokok adalah masalah kesehatan di Indonesia. Argumen tentang pendapatan cukai rokok belum menghitung pengeluaran jaminan kesehatan oleh pemerintah dan nilai masa hidup produktif seseorang.
Argumen tentang keamanan industri dalam negeri tidak menjawab berapa nilai nyawa konsumen.
Argumen dengan menggunakan contoh beberapa perokok yang berumur panjang tidak memiliki dasar bukti ilmiah.
Gambar penyakit dan peringatan kesehatan pada kemasan rokok menunjukkan ancaman kesehatan dari merokok.
Tidak hanya rokok, meningkatnya perilaku vaping dari konsumsi rokok elektronik di kalangan anak muda adalah pintu masuk untuk adiksi nikotin dan masalah kesehatan lain (Khrisnan-Sarin, 2018).
Perusahaan tembakau dunia yaitu Philip Morris membayar 40.000 dollar AS untuk penempatan produk rokok pada film Superman 2 yang dirilis pada 1980 dan 350.000 dollar AS untuk penempatan produk pada film License to Kill yang dirilis pada tahun 1989 (Levin, 1989).
Pada film Superman 2, praktik penempatan produk dilakukan ketika karakter General Zod melempar Superman ke mobil dengan tulisan "Marlboro".
Pada film License to Kill, penempatan produk dilakukan dalam bentuk penggunaan bungkus rokok "Lark" sebagai detonator bom.
Selanjutnya, Timothy Dalton sebagai pemeran karakter James Bond dalam film License to Kill menjadi bintang iklan untuk rokok yang sama.
Bagaimana dengan praktik penempatan produk rokok di Indonesia? Etika Pariwara Indonesia dari sejak tahun 2002 sampai dengan 2020 memuat ketentuan khusus pada butir 2.2 tentang rokok dan produk tembakau.
Pengaturan tentang rokok juga tertulis pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia pada tahun 2012.
Baca juga: Didorong Kenaikan Tarif, Penerimaan Cukai Rokok Melesat 11 Kali Lipat
Dasar hukum lain adalah Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Salah satu kesamaan dari semua peraturan tersebut adalah larangan peragaan wujud dan penggunaan rokok.
Dengan banyaknya peraturan saat ini yang mengatur periklanan khususnya tentang peragaan wujud dan penggunaan rokok, kita tidak melihat adanya iklan yang memuat wujud atau penggunaan rokok di Indonesia.
Sebagian iklan rokok di Indonesia dikemas dengan pendekatan humor atau daya tarik seksual dengan citra laki-laki yang berani dan sukses.
Tetapi bagaimana dengan peragaan wujud rokok dan penggunaan rokok di dalam film?
Pada film Hollywood, kita masih bisa melihat wujud dan penggunaan rokok pada film Fury yang dirilis pada tahun 2014.
Pada film Indonesia, kita bisa melihat wujud dan penggunaan rokok pada film yang dirilis pada tahun 2018. Film tersebut bercerita tentang karakter utama H (laki-laki) dan T (perempuan).
Penampilan wujud dan penggunaan rokok pada film ini terlihat konsisten sepanjang film dari adegan saat sarapan pagi, saat membuat patung, di ruang tamu, di kamar tidur, dan di bagian akhir film.
Dalam salah satu adegan, penempatan produk rokok dilakukan secara mencolok ketika karakter H memegang dan menyalakan sebatang rokok dengan ketajaman gambar yang tinggi tanpa distraksi dari produk lain dengan latar belakang buram.
Selanjutnya, alur film menceritakan karakter T melakukan transplantasi mata untuk H yang berakhir dengan T menjadi buta dan H dapat melihat.
Di bagian akhir film, karakter H yang dapat melihat dan tidak merokok duduk di depan T yang buta dan sedang merokok.
Seakan ada pertukaran "hadiah" di mana karakter H menerima "hadiah" penglihatan dan karakter T menerima "hadiah" perilaku merokok.
Sulit dipahami mengapa T sebagai perempuan perlu diperlihatkan merokok.
Regulator seperti Badan Perlindungan Konsumen Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan perlu mengetahui berbagai bentuk praktik penempatan produk khususnya yang dapat membahayakan kesehatan konsumen.
Selain rokok, penempatan produk minuman beralkohol dan obat dengan resep juga dilakukan di film, lagu, serial televisi, dan konten media sosial.
Sekalipun praktik penempatan produk tidak selalu ditujukan langsung kepada penjualan, tetapi pesan yang masuk ke dalam benak seseorang dapat memengaruhi ingatan seseorang dan sikap mereka terhadap produk atau merek.
Salah satu yang dapat dilakukan untuk melindungi konsumen adalah dengan meminta transparansi dalam bentuk pengungkapan dari perusahaan hiburan dan media.
Pengungkapan adalah pemberitahuan kepada audiens mengenai informasi yang disponsori.
Pengungkapan memiliki 2 tujuan yaitu melindungi konsumen dari iklan yang disembunyikan dan memberitahukan kepada audiens tentang taktik periklanan.
Cara lain yang dapat dilakukan adalah mengedukasi konsumen tentang praktik-praktik penempatan produk sehingga konsumen dapat bersikap kritis dalam mengonsumsi konten hiburan yang memuat penempatan produk.
Baca juga: BPS: Rokok Penyumbang Terbesar Kedua pada Garis Kemiskinan
Bagi industri hiburan dan media, praktik penempatan produk dapat dilihat sebagai solusi untuk menambah anggaran produksi seraya mematuhi hukum yang berlaku dan menghargai integritas artistik.
Integritas artistik bersifat subjektif dan berkaitan dengan motivasi internal dan eksternal setiap orang yang melihat dirinya sebagai seorang seniman (Mills, 2018).
Setiap seniman dapat mempertimbangkan motivasi internal dan eksternal, termasuk ketenaran dan kekayaan, dalam menghasilkan suatu karya seni.
Namun perlu diketahui bahwa persepsi komersialisasi yang lebih besar dari konten hiburan dapat membuat audiens memilih alternatif pengganti lain (Overpeck, 2010).
Bukankah saat ini beberapa konsumen mulai memilih televisi berbayar sebagai pengganti televisi publik?
Sebagai konsumen film, saya tidak bisa memilih penempatan produk apa yang akan dilihat dalam film, tetapi lebih menyukai penempatan produk camilan oleh karakter mantan Presiden Republik Indonesia pada film Habibie Ainun atau penempatan produk 2 merek kamera yang bersaing pada film Imperfect dibandingkan penempatan produk rokok pada film apa pun.
Dr. Cokki
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tarumanagara
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.