Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dradjad H Wibowo
Ekonom

Ekonom, Lektor Kepala Perbanas Institute, Ketua Pembina Sustainable Development Indonesia (SDI), Ketua Pendiri IFCC, dan Ketua Dewan Pakar PAN.

Pertumbuhan Ekonomi Minus 5,32 Persen: Sekali Lagi, Tolong Kendalikan Pandeminya

Kompas.com - 06/08/2020, 12:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BADAN Pusat Statistik (BPS), Rabu (5/8/2020), merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2020 sebesar minus 5,32 persen dibandingkan triwulan II-2019, atau year on year (yoy). Dibandingkan dengan triwulan I-2020, atau quarter to quarter (qtq), angkanya minus 4,19 persen.

Dengan kontraksi ekonomi sebesar itu, saya sarankan untuk kesekian kalinya, tolong atasi pandemi Covid-19 ini terlebih dulu. Minimal, agar transmisi penyakitnya bisa dikendalikan selama vaksin dan obat belum ditemukan.

Baca juga: Indonesia Menuju Resesi Pertama sejak 1998?

Tolok ukur minimalnya adalah jumlah kasus harian tidak melebihi kapasitas rumah sakit dalam menangani pasien Covid-19 dan pasien lainnya. Syukur-syukur, bisa seperti Selandia Baru, Taiwan, dan Vietnam, yang jumlah kasus hariannya nol atau di bawah 10 selama beberapa pekan.

Alasannya, sesuai konstitusi, negara wajib menjaga keselamatan rakyatnya. Selain itu, perekonomian akan diuntungkan jika pandemi teratasi lebih awal.

Sebagai argumentasi, saya kutip studi Correia, Luck, Verner (2020). Temuan mereka, kota-kota di Amerika Serikat (AS) yang dengan cepat dan agresif mengambil langkah kesehatan non-farmasi ternyata ekonominya meningkat setelah pandemi flu pada 1918.

Langkah non-farmasi ini disebut non-pharmaceutical interventions (NPIs). Jaga jarak fisik termasuk di dalamnya.

Ada lagi studi Bodenstein, Corsetti, Guerrieri (2020). Temuannya—berdasarkan analisis terhadap Tabel Input-Output AS—, tanpa jaga jarak sosial (fisik), penurunan output, utilisasi kapasitas, dan investasi bisa dua kali lipat dari kondisi jika jaga jarak dijalankan dengan benar.

Perlu saya garis bawahi, para penulis itu bukan dokter atau ahli kesehatan. Mereka adalah ekonom dan pakar keuangan yang bekerja di the Federal Reserve System (The Fed), MIT, dan University of Cambridge.

Baca juga: Dalam Bayang-bayang Resesi Ekonomi Global...

Bukti lain adalah pengalaman Taiwan selama pandemi Covid-19. Taiwan sangat rentan karena jaraknya hanya 130 km dari China daratan.

Pada 2019, ada 2,71 juta turis China datang ke Taiwan. Sekitar 850.000 warga negara Taiwan tinggal di China, dan 404.000 bekerja di sana.

Taiwan bergerak cepat dengan lockdown, tes, dan tracking yang masif, serta langkah kesehatan lainnya. Hasilnya, sejak 26 April 2020, kasus harian di Taiwan nol, dan hingga hari ini hanya di bawah 10.

Jumlah total kasus di Taiwan hanya 476, atau 2 kasus per 100.000 penduduk. Jumlah penduduk Taiwan 23,6 juta.

Dari sisi ekonomi, hasilnya impresif. Pada saat puncak lockdown, ekonomi Taiwan masih tumbuh 1,59 persen yoy di kuartal I-2020. Untuk kuartal II-2020, pertumbuhan ekonomi Taiwan hanya minus 0,73 persen yoy.

Membedah pertumbuhan

Untuk Indonesia, jika pertumbuhan kuartal II-2020 dibedah, semakin jelas bahwa perekonomian kita sangat butuh pandemi ini dikendalikan.

Baca juga: Jejak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dari Masa ke Masa

Sebagai bukti, mari kita lihat PDB menurut pengeluaran. Saya monitor sejak 1998, angka pertumbuhan ekonomi dan konsumsi rumah tangga biasanya tidak banyak berbeda. Pergerakannya pun searah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

Whats New
Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com