JAKARTA, KOMPAS.com - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 tercatat negatif 5,32 persen. Hal ini menempatkan Indonesia di ambang resesi, setelah pada kuartal sebelumnya juga mengalami kontraksi.
Ekonom menilai pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan-kebijakan pemulihan ekonomi, menjadi lebih mengarah langsung pada peningkatan konsumsi masayarakat. Sehingga indikator konsumsi rumah tangga bisa tergenjot.
Pandemi Covid-19 memang melumpuhkan perekonomian, seiring dengan adanya kebijakan PSBB dan kewaspadaan masyarakat untuk menjaga jarak guna mencegah penularan virus. Alhasil, kondisi ini menekan daya beli masyarakat, karena imbas pemotongan gaji dan PHK.
Baca juga: Hadapi Ancaman Resesi, Ini yang Perlu Dilakukan Masyarakat
Dalam hal ini, belanja pemerintah memiliki peran sangat penting untuk menopang perekonomian. Sayangnya, di kuartal II-2020 pertumbuhan belanja pemerintah malah minus 6,90 persen, lebih rendah dari penurunan konsumsi rumah tangga yang sebesar 5,51 persen.
"Kalau lihat kuartal kedua, ini cukup aneh, masak pertumbuhan belanja pemerintah bisa lebih rendah dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Padahal harapannya ada di belanja pemerintah untuk dorong perekonomian," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira kepada Kompas.com, Kamis (6/8/2020).
Menurut dia, serapan belanja pemerintah di kuartal II-2020, menjadi catatan yang cukup serius karena malah tertahan di tengah kondisi ekonomi yang melemah. Jika terus berlanjut, ini akan memperdalam kejatuhan ekonomi Indonesia.
Oleh sebab itu, Bhima menilai, pemerintah perlu membuat terobosan kebijakan dengan merombak seluruh stimulus ekonomi yang ada saat ini. Menjadi lebih berfokus pada menjaga daya beli masyarakat dan pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
"Sekarang terobosan yang penting adalah pemerintah merobak total seluruh stimulus ekonomi," kata dia.
Baca juga: Pemerintah: Karyawan Swasta Bergaji di Bawah Rp 5 Juta Akan Dapat Bantuan Rp 600.000 Per Bulan
Ia bilang, stimulus perpajakan yang selama ini diberikan tidak efektif dalam mendorong percepatan pemulihan ekonomi. Lantaran, penyerapan tenaga kerja belum bisa terjadi seperti yang diharapkan, ditandai dengan PHK yang masih terus terjadi.
Sehingga akan lebih baik jika kebijakan stimulus tersebut dialihkan kepada penerima bantuan langsung tunai (BLT) atau bantuan sosial (bansos)
"Jadi seperti pengurangan PPh, keringanan pajak untuk korporasi, sebaiknya diberikan langsung kepada bantuan sosial sehingga berdampak kepada masyarakat yang rentan miskin maupun miskin. Karena itu langsung dibelanjakan oleh mereka," jelasnya.
Sementara insentif pada UMKM, Bhima menilai, pemerintah bisa memberikan hibah modal kerja, dan subsidi internet gratis bagi pelaku UMKM untuk masuk ke digital. Serta insentif yang bisa mendorong pelaku UMKM memiliki protokol kesehatan lebih baik, sehingga memberikan kepercayaan konsumen untuk membeli produk UMKM.
"Stimulus-stimulus di bidang UMKM itu harus di rubah tidak bisa menggunakan skema relaksasi kredit lagi, itu tidak terlalu efektif," katanya.
Sementara, Ekonom BCA David Sumual mengatakan, pemerintah perlu mempercepat serapan belanja dan memastikan keefektifannya untuk bisa mendorong pemulihan ekonomi di kuartal selanjutnya.
"Pola spending-nya mungkin perlu lebih ke arah konsumsi. (Kebijakan) yang seperti restrukturisasi atau suntikan likuiditas lewat perbankan dan sebagainya, itu agak perlu waktu memang," ujarnya.
Belanja yang mengarah pada peningkatan konsumsi masyarakat bisa dilakukan dengan skema cash for work atau pencairan secara tunai untuk program padat karya. Juga bisa melalui BLT untuk masyarakat yang rentan miskin dan miskin.
Baca juga: Sri Mulyani: Indonesia Belum Alami Resesi
Ia mencontohkan, seperti India yang memberikan insentif pada masyarakat lewat akun rekening masing-masing, atau Amerika Serikat yang memberikan cek yang hanya dapat dibelanjakan dalam kurun waktu tertentu.
"Sehingga bisa dibelanjakan langsung, karena kan kebutuhan masyarakat bukan hanya makan dan minum saja. bisa juga untuk anak sekolah dan lainnya," kata David.
Menurut dia, skema dari negara lain dalam pemberian BLT bisa menjadi salah satu contoh yang diterapkan oleh pemerintah. Namun, hal itu perlu juga dipastikan pengawasannya dengan ketat agar benar-benar tepat sasaran.
"Jadi perlu percepatan stimulus terutama ke mereka yang berpendapatan menengah ke bawah dan paling berdampak, seperti (yang kerja di) sektor informal dan penggauran. Saat ini kan ada program kartu prakerja, itu juga harus dioptimalkan," pungkasnya.
Baca juga: Apa Sebetulnya Resesi Itu?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.