Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Bedanya Resesi dan Depresi, Lebih Parah Mana?

Kompas.com - 06/08/2020, 15:38 WIB
Fika Nurul Ulya,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Istilah resesi ekonomi semakin santer usai Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32 persen di kuartal II 2020.

Pertumbuhan ekonomi minus pada kuartal II 2020 ini diharapkan terjadi pembalikan/pemulihan (recovery) pada kuartal III 2020 agar Indonesia tidak jatuh ke resesi ekonomi.

Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan, ada banyak definisi tentang perhitungan resesi. Namun, biasanya resesi didefinisikan sebagai pertumbuhan ekonomi negatif yang dialami suatu negara selama dua kuartal berturut-turut atau lebih.

Baca juga: Indonesia Terancam Resesi, Pemerintah Diminta Rombak Kebijakan Pemulihan Ekonomi

Resesi dinyatakan berakhir bila pertumbuhan ekonomi negara kembali tumbuh positif dan kembali normal meski bertahap.

"Jadi resesi bukan sesuatu yang sangat menakutkan, tapi memberikan indikasi bahwa 2 kuartal berturut-turut ekonomi kita turun. (Apa yang terjadi di kuartal II 2020) itu indikasi awal. Kalau enggak ada perbaikan, ya akan melanjutkan resesi," kata Hans kepada Kompas.com, Kamis (6/8/2020).

Dia menuturkan, pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 yang bisa minus hingga 5,32 persen memang mencerminkan apa yang dilakukan pemerintah untuk membasmi Covid-19.

Sejak April 2020, pemerintah telah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang menyebabkan aktivitas ekonomi berhenti.

Baca juga: Jika Covid-19 Tidak Bisa Diatasi, Jangan Bermimpi Bisa Mengatasi Resesi...

"Tapi kalau kita lihat perkiraan IMF dan beberapa lembaga, nampaknya Indonesia merupakan negara yang diprediksi akan bisa tumbuh positif atau negara yang paling cepat recoverynya bersama China. Ini faktor positif," ujar dia.

Amerika Serikat (AS) sempat mengalami resesi ekonomi terpanjang yang dimulai pada Desember 2007 dan berakhir pada Juni 2009, sekitar 18 bulan dengan penurunan produksi -3,7 persen sejak tahun 1960.

Lantas, apa bedanya dengan depresi?

Berdasarkan publikasi Dana Moneter Internasional (IMF), tidak ada definisi formal tentang depresi. Tapi depresi ekonomi bisa diartikan sebagai resesi yang sangat parah, di mana terjadi penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 10 persen.

Mengutip Business Insider, depresi ekonomi biasanya dipahami sebagai kemerosotan ekstrem dalam aktifitas ekonomi yang berlangsung selama beberapa tahun atau dalam waktu yang lama.

Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER) mencatat, para ekonom berbeda dalam periode waktu yang menunjukkan depresi.

Baca juga: Makin Santer, Apa Sebetulnya Resesi Itu?

Beberapa ahli percaya depresi hanya berlangsung ketika aktivitas ekonomi menurun. Sedangkan pemahaman yang lebih umum adalah depresi meluas sampai aktifitas ekonomi kembali mendekati level normal.

Perbedaan resesi dan depresi

Resesi dan depresi memiliki indikator dan penyebab yang serupa, tetapi perbedaan terbesar bisa dilihat dari tingkat keparahan, durasi, dan dampak keseluruhan.

Depresi berlangsung selama bertahun-tahun, bukan berbulan-bulan, dan biasanya menyebabkan tingkat pengangguran melonjak dengan penurunan PDB yang tajam.

Resesi sering kali terbatas pada satu negara, sedangkan depresi biasanya cukup parah dan berdampak pada perdagangan global.

Great Depression

Amerika Serikat pernah mengalami masa depresi ekonomi pada tahun 1930 yang disebut dengan Great Depression/Depresi Hebat. Depresi Hebat adalah salah satu kemerosotan ekonomi paling parah dalam sejarah yang berlangsung dari 1929-1939.

Baca juga: Hadapi Ancaman Resesi, Ini yang Perlu Dilakukan Masyarakat

Depresi Hebat dimulai di Amerika pada tahun 1929 sebagai resesi sebelum meluas secara global, terutama di Eropa.

Seperti halnya krisis ekonomi jangka panjang, tidak hanya ada satu peristiwa yang menyebabkan Great Depression, melainkan ada serangkaian peristiwa termasuk jatuhnya pasar saham pada tahun 1929 dan kekeringan yang parah di Dust Bowl pada tahun 1930-an.

Ekonomi AS sendiri sudah mengalami tren menurun selama musim panas sebelum kehancuran, dengan pengangguran meningkat dan manufaktur menurun, yang akhirnya membuat saham dinilai terlalu tinggi.

Kemudian pada 24 Oktober, yang dikenal sebagai "Kamis Hitam," investor menjual hampir 13 juta saham, memberi sinyal melemahnya kepercayaan. Tak sampai situ, pengeluaran terhenti, hutang bertambah, rumah disita, dan bank mulai bangkrut.

Kejatuhan pasar saham pada Oktober 1929 saat itu memicu kepanikan yang mengakibatkan penurunan tajam dalam belanja dan investasi konsumen, menyebabkan penurunan dalam industri manufaktur, dan meningkatkan pengangguran.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com