Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Skema Baru PPN Pertanian Ditargetkan Sumbang Rp 300 Miliar

Kompas.com - 06/08/2020, 21:01 WIB
Yohana Artha Uly,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menargetkan, dengan skema baru pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) produk pertanian tertentu bisa menambah penerimaan negara sebesar Rp 300 miliar di sisa akhir tahun 2020.

Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 Tahun 2020, pemerintah menawarkan skema baru yakni nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak dalam PPN, bagi petani dengan omzet Rp 4,8 miliar per tahun atau 400 juta per bulan.

"Kalau hitungan kami dampak PMK ini ke penerimaan PPN tidak terlalu besar untuk tahun ini (Agustus-Desember) yaitu sekitar Rp300 miliar,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam diskusi online, Kamis (6/8/2020).

Baca juga: Ekonomi RI Minus, Pengusaha Minta Pemerintah Gerak Cepat

Menurutnya, skema baru pungutan PPN pertanian tidak sepenuhnya untuk mengumpulkan penerimaan, melainkan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha di sektor pertanian untuk memenuhi kewajiban pajaknya.

Kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) terbilang besar, pada 2019 mencapai 12,72 persen atau sekitar Rp 2.000 triliun. Tapi konstribusinya pada penerimaan pajak justru sangat kecil.

Padahal sektor pertanian menjadi kontributor ketiga terbesar pada PDB, setelah sektor manufaktur yang sebesar 19,7 persen dan sektor perdagangan 13,01 persen. Kedua sektor ini bahkan berkontribusi paling besar terhadap penerimaan pajak.

“Ini terlihat kurang proporsional, makanya yang ingin kedepankan dengan PMK ini agar semakin mudah sektor pertanian dan pelaku usaha sektor pertanian lakukan kewajibannya bayar pajak sebagai warga negara yang baik,” ujar Febrio.

Baca juga: Ekonom Senior Indef Yakin RI Bakal Masuk Jurang Resesi

Dalam PMK ini, petani diberikan dua opsi yakni skema normal dengan menggunakan harga jual sebagai dasar pengenaan pajak, sehingga tarif efektif PPN 10 persen.

Atau skema baru, menggunakan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak yakni tarif 10 persen dari harga jual. Sehingga tarif efektif PPN menjadi 1 persen dari harga jual.

Dengan demikian, petani bisa memilih skema pengenaan pajak dengan tarif efektif PPN 10 persen atau tarif efektif 1 persen.

Baca juga: Lowongan Kerja BRI, Ini Posisi dan Syaratnya

Bila menggunakan mekanisme baru, maka badan usaha industri yang membeli barang hasil pertanian dari petani ditunjuk sebagai pemungut PPN 1 persen, dan tetap dapat mengkreditkan PPN tersebut sebagai pajak masukan.

Pemungutan oleh badan usaha industri ini semakin meningkatkan kemudahan bagi petani dan kelompok petani.

Tetapi jika menggunakan skema harga jual sebagai dasar pengenaan pajak dengan tarif efektif PPN 10 persen, petani harus menyetorkan pajaknya sendiri sehingga harus memiliki pembukuan.

Adapun bagi petani yang ingin menggunakan dasar pengenaan pajak dengan nilai lain, maka harus mengirimkan notifikasi kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu terlebih dahulu pada saat menyampaikan SPT Masa PPN.

Berbagai barang hasil pertanian yang dapat menggunakan ketentuan nilai lain adalah barang hasil perkebunan, tanaman pangan, tanaman hias dan obat, hasil hutan kayu, serta hasil hutan bukan kayu.

Baca juga: Lelang Mobil Murah Sitaan Bea Cukai, Honda Jazz Mulai Rp 38,7 Juta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

BTN Cetak Laba Bersih Rp 860 Miliar pada Kuartal I 2024

Whats New
Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Bulog Siap Jadi Pembeli Gabah dari Sawah Hasil Teknologi Padi China

Whats New
Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Bulog Baru Serap 633.000 Ton Gabah dari Petani, Dirut: Periode Panennya Pendek

Whats New
Dari Perayaan HUT hingga Bagi-bagi THR, Intip Kemeriahan Agenda PUBG Mobile Sepanjang Ramadhan

Dari Perayaan HUT hingga Bagi-bagi THR, Intip Kemeriahan Agenda PUBG Mobile Sepanjang Ramadhan

Rilis
INACA: Iuran Pariwisata Tambah Beban Penumpang dan Maskapai

INACA: Iuran Pariwisata Tambah Beban Penumpang dan Maskapai

Whats New
Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Bank DKI Sumbang Dividen Rp 326,44 Miliar ke Pemprov DKI Jakarta

Whats New
OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

OASA Bangun Pabrik Biomasa di Blora

Rilis
Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Pengumpulan Data Tersendat, BTN Belum Ambil Keputusan Akuisisi Bank Muamalat

Whats New
Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Cara Hapus Daftar Transfer di Aplikasi myBCA

Work Smart
INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

INA Digital Bakal Diluncurkan, Urus KTP hingga Bayar BPJS Jadi Lebih Mudah

Whats New
Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Suku Bunga Acuan BI Naik, Anak Buah Sri Mulyani: Memang Kondisi Global Harus Diantisipasi

Whats New
Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal 'Jangkar' Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Ekonom: Kenaikan BI Rate Bakal "Jangkar" Inflasi di Tengah Pelemahan Rupiah

Whats New
Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Menpan-RB: ASN yang Pindah ke IKN Bakal Diseleksi Ketat

Whats New
Lebaran 2024, KAI Sebut 'Suite Class Compartment' dan 'Luxury'  Laris Manis

Lebaran 2024, KAI Sebut "Suite Class Compartment" dan "Luxury" Laris Manis

Whats New
Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Rupiah Melemah Sentuh Rp 16.200, Mendag: Cadangan Divisa RI Kuat, Tidak Perlu Khawatir

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com