Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS

Sikap Telkom pada Platform OTT: Intervensi Melalui Regulasi Demi Kedaulatan Nasional

Kompas.com - 11/08/2020, 16:08 WIB
Inang Sh ,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

“Bagaimana operator jaringan dituntut untuk terus melakukan investasi jaringan untuk membuka akses wilayah yang begitu luas dengan ketidakmerataan infrastruktur seperti wilayah NKRI ini,” tanyanya.

Kendala regulasi yang asimetris

Lebih lanjut, Dian menjelaskan, dukungan pada pemberian regulasi terhadap OTT karena regulasi saat ini asimetris.

Sementara itu, operator jaringan sering kali diatur secara ketat, sehingga pesaing digital besar ini tidak memiliki kewajiban regulasi apa pun.

Oleh karena sifatnya yang sangat cair dan global, maka OTT menikmati keuntungan yang luar-biasa dalam hal bebas pajak di hampir semua negara.

Baca juga: Ini Kata Telkom soal Kebocoran Data Pelanggan Telkomsel

Lain halnya dengan operator tradisional yang harus membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP), pajak, dan Universal Service Obligation (USO).

“Saat ini ketimpangan posisi tawar operator jaringan Indonesia dengan OTT (seluruhnya adalah pemain global, bukan Indonesia) sangatlah kontras,” tegasnya.

Dia mencontohkan, Telkom, Telkomsel, dan operator lainnya dalam memberikan kepastian layanan akses cepat dengan latensi rendah kepada para pengguna internet terpaksa memberikan fasilitas penempatan server/kolokasi gratis sampai ke ujung (edge) kepada Facebook dan Google.

Dengan begitu, operator jaringan yang bukan OTT pun menjadi yang pertama harus berhadapan dengan komplain pelanggannya manakala akses internet mengalami hambatan.

Dampak OTT di sektor periklanan

Lebih lanjut ia menjelaskan, saat ini sektor periklanan (advertisement) juga sudah tersapu oleh duopoli OTT Google dan Facebook.

Baca juga: Bangkit dari Pandemi, Telkom Property Perkuat Peluang Digital

“Para agensi publisher dan advertiser mulai gulung tikar. Satu demi satu iklan di media cetak, TV, elektronik, videotron di jembatan penyeberangan; gedung; dan di jalan-jalan mulai kosong,” ujarnya.

Saat ini, semuanya beralih ke mesin iklan digital sangat pintar memilih dan menyodorkan iklan yang tepat sesuai profil individu pengguna Internet.

Bahkan, pada 2019 saja, Google membukukan keuntungan bersih dari bisnis iklannya sebesar Rp 1.500 triliun, sementara pasangan duopolinya, yaitu Facebook meraup Rp 1.000 triliun.

Absennya akuntabilitas dan regulasi ini tidak terbatas pada telekomunikasi, tetapi meluas ke sektor yang lain mulai dari Grab, Airbnb, dan Netflix.

Sebab, penyedia OTT saat ini tidak perlu tunduk pada kewajiban yang sama seperti operator lokal di negara berdaulat.

Baca juga: Aktivitas Media Sosial Disebut Mengancam Industri Periklanan

Tak hanya itu, beberapa negara yang berupaya memberlakukan peraturan tambahan kepada OTT selalu dikabarkan mendapatkan tentangan yang lumayan berat.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com