Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Penataan Kembali Penerbangan Nasional Pascapandemi Covid-19

Kompas.com - 14/08/2020, 06:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Prof Dr HK Martono SH, LLM

DALAM rapat terbatas yang membahas penggabungan badan usaha milik negara (BUMN) sektor aviasi dan pariwisata di Istana Merdeka tanggal 6 Agustus 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai jumlah bandar udara internasional di Indonesia terlalu banyak sehingga mencapai 33 bandara.

Menurut Presiden Jokowi, dibandingkan dengan negara-negara lain, jumlah bandara internasinal di Tanah Air terlalu banyak dan tidak merata. Karena itu, Presiden Jokowi bermaksud menata kembali.

Jumlah bandara udara internasional di beberapa negara tidak pernah sebanyak di Indonesia. Apalagi, bandara internasional di Indonesia saat ini tidak merata karena 90 persen lalu lintas penerbangan saat ini hanya terfokus di lima bandara internasional.

Kelima bandara internasional itu adalah Soekarno-Hatta di Tangerang, Bali Ngurah Rai International Airport di Denpasar, Juanda di Jawa Timur, Kualanamu di Medan, dan Kulon Progo di Yogyakarta.

Baca juga: Rencana Penggabungan BUMN Penerbangan dan Pariwisata Dinilai Akan Merugikan Maskapai

Presiden Jokowi memastikan bahwa pemerintah akan memberi perhatian khusus terhadap sektor penerbangan dan pariwisata untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi kuartal III.

Karena itu, pemerintah harus melakukan transformasi di bidang penerbangan dan pariwisata melalui penataan kembali yang lebih baik, terutama rute penerbangan, penentuan hub, superhub, dan kemungkinan penggabungan badan usaha milik negara (BUMN) penerbangan dan internasional.

Dalam Konvensi Chicago 1944 sebagai konstitusi penerbangan internasional, tidak terdapat pengertian atau definisi bandara internasional (international airport).

Karena itu pada 1986, saat membahas Protocol Montreal 1988, Komite Hukum Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) merumuskan pengertian atau definisi bandara internasional.

Rumusan ini dibahas oleh 66 negara dan 186 delegasi selama 10 hari. Tidak ada kata sepakat, hingga akhirnya dibuatlah keputusan tidak perlu membuat pengertian atau definisi international airport karena tanpa pengertian atau definisi tersebut tidak ada hambatan.

Oleh sebab itu, dalam Protokol Montreal 1988, istilah yang digunakan bukan international airport, melainkan airport serving international civil aviation.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan juga tidak mengatur pengertian atau definisi bandara internasional. Adapun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 mengatur definisi tentang bandara internasional.

Menurut UU Nomor 1 Tahun 2009, bandara internasional adalah bandar udara yang ditetapkan sebagai bandar udara yang melayani rute penerbangan dalam negeri dan rute penerbangan dari luar negeri.

Namun, pengertian atau definisi tersebut tidak menjelaskan kreteria apa sebagai bandara internasional atau unsur-unsur bandara internasional atau syarat-syarat sebagai bandara internasional, sehingga menimbulkan masalah penentuan bandara internasional.

Di Indonesia, pemerintah daerah merasa bangga mempunyai bandara internasional. Karena itu, pemda ramai-ramai mengajukan bandara internasional di daerahnya, sementara itu tidak ada kriteria yang jelas untuk menentukan levelnya.

Pada saat itu, pejabat tinggi Kementerian Perhubungan menanyakan kriteria sebagai bandara internasional, tetapi tidak jelas yang memberi masukan kepada pejabat tersebut.

Maka mulai bermunculanlah nama-nama bandara internasional. Bandara yang melayani penerbangan Pontianak ke Singapura atau Kucing, Pekanbaru ke Singapura atau Medan ke Penang, Bandung ke Kualalumpur, Solo ke Singapura, Semarang ke Singapura, Merauke ke Darwin, Medan ke Singapura, itu sudah dianggap sebagai bandara internasional.

Sebenarnya bandara-bandara tersebut bukan bandara internasional, melainkan border crossing airport atau bandara lintas batas.

Akibatnya dalam kebijakan open sky policy, negara-negara ASEAN protes bahwa Indonesia (pada waktu itu) mempunyai 28 bandara internasional.

Padahal yang dibuka sebagai bandara internasional hanya 5 bandara, yakni Soekarno-Hatta, Ngurah Rai, Juanda, Bandara Hasanuddin di Makassar, dan Kualanamu di Medan.

Sebenarnya yang dimaksud bandara internasional adalah bandara yang menerima penerbangan internasional dari berbagai negara, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, Vietnam, India, Pakistan, Arab Saudi, Qatar, Belanda, Jerman, dan Perancis.

Baca juga: Syarat Wajib bagi Penumpang Penerbangan Internasional Bandara Soetta

Penataan bandara internasional

Penataan bandara internasional perlu mengatur syarat-syarat bandara internasinal. Pengaturannya perlu selektif sesuai dengan maksud tujuan kebijakan nasional, khususnya untuk mendorong ekonomi dan industri pariwisata nasional, suatu industri yang paling menderita akibat Covid-19.

Bandara internasional hanya ditetapkan di pinggir-pinggir batas wilayah kedaulatan, misalnya Jakarta, Denpasar, Surabaya, Kualanamu, Manado, Merauke, Balikpapan.

Bandara Hasanuddin di Makasar tidak dapat ditunjuk sebagai bandara internasional karena terlalu masuk ke dalam wilayah Indonesia, yang merupakan hak perusahaan penerbangan nasional yang diakui oleh Pasal 7 Konvensi Chicago 1944.

Penerbagan tersebut dikenal sebagai asas cabotage, yaitu pengangkutan penumpang dan/atau barang secara komersial dari satu tempat ke tempat yang lain dalam satu wilayah negara berdaulat.

Karena itu, penentuan Bandara Hasanuddin sebagai bandara internasional tidak sesuai dengan asas cabotage yang seharusnya menjadi hak perusahaan penerbangan nasional.

Penentuan bandara internasional biasanya ditetapkan di pinggir-pinggir saja, seperti Amerika Serikat tidak mungkin mengizinkan British Airways yang terbang langsung dari London ke Los Angeles.

Paling banter AS membolehkan British Airways dari London ke New York atau Washington karena rute New York atau Washington ke Los Angles merupakan asas cabotage AS.

Kecuali ada hitung-hitungan lain, AS tidak mungkin mengizinkan Garuda Indonesia terbang dari Denpasar atau Biak langsung ke Los Angles. Paling banter sampai Hawai karena rute Hawai ke Los Angles adalah asas cabotage AS.

Karena itu, bilamana Indonesia mengizinkan penerbangan langsung ke Hasanuddin di Makasar juga kurang tepat.

Daripada menetapkan Bandara Hasanuddin sebagai bandara internasional, lebih baik Manado dipilih sebagai kota dengan bandara internasional.

Penetapan Manado sebagai tempat bandara internasional lebih baik daripada Makassar dengan pertimbangan untuk melayani industri pariwisata wilayah timur Indonesia.

Di samping itu Manado juga dapat dipakai sebagai airpark untuk menyimpan pesawat untuk sementara atau pesawat rusak yang masih diparkir di bandara.

Pesawat yang rusak masih diparkir di bandara juga menjadi masalah karena biaya parkir hanya hitung-hitungan dalam buku dan biasanya sulit ditagih dan akhirnya dibebaskan atas persetujuan pemerintah.

Dengan peristiwa Covid-19, masalah airpark menjadi penting karena secara global banyak pesawat terpaksa diparkir karena pembatasan terbang dari berbagai negara, khususnya Indonesia juga belum pernah memikirkan perlunya airpark.

Dengan menentukan Manado sebagai tempat bandara internasional, maka dapat menampung pesawat internasional parkir di Manado.

Pada masa normal maupun Covid-19, parkir pesawat juga selalu menjadi masalah karena pesawat hanya dapat diparkir di bandara yang mampu menyediakan fasilitas pesawat sesuai dengan tipe pesawat. Contohnya di Bandara Kertajati di Jawa Barat atau di Soekarno-Hatta, Tangerang, yang menyediakan fasilitas memadai.

Bandara Soekarno-Hatta menyediakan 188 parking stand untuk keadaan normal dan 270 parking stand untuk pesawat yang tidak beroperasi karena pandemi Covid-19.

Baca juga: Dewan Penerbangan dan Covid-19

Penataan kembali

Keinginan Presiden Jokowi untuk menata kembali sektor penerbangan dan pariwisata sepantasnya disambut baik. Namun, penataan tersebut tidak hanya terbatas pada bandar udara internasional, tetapi penataan secara menyeluruh pemegang kepentingan dunia penerbangan.

Seperti asas cabotage, struktur rute penerbangan, kantor pusat perusahaan penerbangan (home based), pemerintah dalam kapasitasnya sebagai regulator, berbagai bentuk BUMN perusahaan penerbangan, operator bandara, maupun pabrikan, perusahaan penerbangan swasta, sumber daya manusia (human resources), kebijakan transportasi udara, tarif, tanggung jawab pengangkut semua ditinjau ulang.

Berbagai BUMN yang berbentuk perusahaan umum (perum), badan layanan umum (BLU) maupun perseroan terbatas (PT) perlu ditata ulang apakah sesuai dengan fungsi utamanya atau tidak.

BUMN yang tidak sesuai dengan fungsinya atau terlalu jauh dari fungsi utamanya harus diubah sesuai dengan kebutuhan sektor aviasi dan pariwisata pascapandemi Covid-19.

Fungsi utama BUMN adalah mencari untung, sedangkan fungsi lainnya adalah fungsi tambahan.

Secara filosofis, pemerintah sebagai regulator tidak boleh berusaha, karena itu dibentuklah badan usaha sehingga badan tersebut dapat bisnis untuk mencari keuntungan.

Pada awalnya, BUMN tersebut berbentuk perusahaan jawatan (perjan), perusahaan umum (perum) dan perusahaan peseroan terbatas (PT).

Baca juga: Kapan Penerbangan Kembali Normal?

Industri penerbangan di Indonesia

Industri penerbangan (kecuali industri pariwisata) global paling menderita akibat Covid-19. Dampak Covid-19 tersebut juga dirasakan dalam industri penerbangan dan pariwisata di Indonesia.

Akan tetapi, industri penerbangan di Indonesia post Covid-19 relatif lebih menjanjikan dibandingkan dengan negara-negara yang menggantungkan pada penerbangan internasional.

Letak geografis Indonesia sangat strategis, jumlah penduduknya terbanyak keempat di dunia setelah Amerika Serikat, memiliki wilayah luas, sumber daya alam cukup banyak, berbagai macam budaya dan adat istiadat yang menarik wisatawan asing, ekonomi nasional yang mendukung, sehingga sektor industri penerbangan dapat berkembang.

Dengan wilayah luas, penerbangan nasional dapat dikembangkan karena tidak tergantung pada penerbangan internasional seperti negara tetangga.

Data menunjukkan bahwa dari 18.300 penerbangan, 14.000 di antaranya merupakan penerbangan dalam negeri, sisanya penerbangan internasional.

Apabila sektor aviasi ditata ulang berdasarkan komponen-komponen tersebut di atas, berdasarkan ilmu pengetahuan, teknologi, rekayasa dan matematik (STEM) yang didukung oleh ilmu sosial (human social science) yang diacu oleh ICAO, mudah-mudahan industri penerbangan di Indonesia dapat bersaing pada tataran nasional, regional, maupun internasional.

Industri penerbangan yang tertata ini juga akan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, distribusi logistik, pariwisata, mobilitas para pejabat maupun pengusaha, membantu pertahanan nasional, pengangkutan haji, mobilitas para karyawan perusahaan perkebunan, kehutanan, pertambangan akan tercapai.

Prof Dr HK Martono SH, LLM
Ketua Prodi S2 (MIH) Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com