Meski secara agregat terlihat cukup besar, namun jika dilihat per penerima manfaat, anggaran tersebut sejatinya terlihat kurang proporsional.
Sebagai gambaran, dana talangan modal kerja untuk BUMN yang meski terlihat lebih rendah dibandingkan UMKM, namun dana talangan modal kerja yang diterima oleh BUMN prioritas bisa mencapai Rp 1,6 triliun per penerima manfaat. Bandingkan dengan dana penjaminan kredit modal kerja bagi UMKM yang hanya sekitar Rp 208.000 per penerima manfaat.
Dengan komposisi dan distribusi bantuan seperti itu, maka agenda pencegahan pemutusan hubungan kerja (PHK) di balik stimulus fiskal rasanya sulit tercapai meski penyaluran bantuan sudah dipercepat.
Alasannya, perusahaan penerima manfaat di bawah program pemulihan ekonomi nasional belum sepenuhnya terbuka kepada pemerintah terutama terkait fungsi biaya mereka. Tanpa keterbukaan fungsi biaya, maka besarnya alokasi anggaran yang dikucurkan untuk menggerakkan dunia usaha rasanya tidak akan selalu berdampak positif terhadap pekerja terutama mereka yang berketerampilan rendah.
Seperti diketahui, korporasi cenderung mempertahankan pekerja berketerampilan tinggi daripada pekerja berketrampilan rendah karena alasan nilai tambah.
Sebaliknya, dengan keterbukaan fungsi biaya, pemerintah bisa mengukur apakah paket bantuan yang diberikan sudah proporsional dengan kebutuhan perusahaan atau tidak.
Pemerintah juga bisa memantau perusahaan penerima bantuan stimulus ekonomi yang mana saja telah melakukan PHK.
Jika terjadi PHK, pemerintah bisa memantau rasio pekerja berketerampilan rendah yang di-PHK terhadap total pekerja yang terkena PHK di perusahan penerima bantuan stimulus ekonomi.
Jika asumsi informasi asimetris berlaku, maka lapangan kerja di sektor swasta rasanya tidak akan tumbuh dalam waktu dekat meski alokasi anggaran yang akan dikucurkan nyaris mencapai Rp 700 triliun. Implikasinya, konsumsi rumah tangga tampaknya masih akan terus terkoreksi sepanjang 2020.
Baca juga: Ketua Satgas PEN: Masih Ada Kemungkinan Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III Tidak Negatif
Employer of last resort
Atas dasar itu, untuk merestorasi konsumsi rumah tangga dan juga dunia usaha, maka pemerintah perlu segera bertindak sebagai employer of last resort (ELR). Dalam konteks ini, pemerintah perlu mempercepat penciptaan lapangan kerja baru di sektor publik yang ramah terhadap pekerja berketerampilan rendah.
Bila dibandingkan dengan program bantuan sosial, skema ini rasanya memiliki daya dorong yang lebih kuat karena selain memperkuat sisi permintaan (demand) juga memperkuat sisi pasokan (supply).
Sementara program bantuan sosial hanya memperkuat sisi demand saja tanpa penguatan dari sisi supply. Paket bantuan sosial juga ditengarai hanya cukup untuk membayar tagihan bulanan para penerima bantuan.
Oleh karenanya, program subsidi permintaan perlu dilengkapi dengan skema lain seperti skema penyediaan lapangan kerja di sektor publik. Tanpa kehadiran program pembukaan lapangan kerja di sektor publik, akan lebih banyak insiden pekerja berupah rendah tanpa disertai tunjangan atau perlindungan kerja dasar yang layak.
Itu pula sebabnya kehadiran program penyediaan lapangan kerja di sektor publik saat pandemi menjadi sangat penting. Apalagi, esensi kebijakan penciptakan lapangan kerja di sektor publik sejatinya selain bagian dari kebijakan penciptaan lapangan kerja (job creation) juga bagian dari kebijakan perlindungan kerja (job protection).
Baca juga: Ibu Rumah Tangga dan Korban PHK Bisa Dapat Kredit Bunga 0 Persen, Ini Skemanya