Dalam konteks stimulus fiskal, persoalan adverse selection terjadi jika pelaku usaha sebagai penerima stimulus ekonomi tidak membuka informasi penting perusahaan kepada pemerintah seperti fungsi biaya, distribusi pekerja yang dipertahankan dan dirumahkan/dipecat, dan lain-lain.
Sementara itu, persoalan moral hazard muncul ke permukaan jika pelaku usaha berskala menengah dan besar memiliki informasi yang lebih baik dibandingkan pelaku usaha berskala mikro dan kecil.
Persoalan adverse selection dan moral hazard sejatinya sangat memungkinkan terjadi karena sejumlah pelaku usaha berskala besar dan menengah di Indonesia ditengarai memiliki jaringan yang cukup kuat ke sejumlah partai politik, BUMN, dan kementerian/lembaga.
Jika tata kelola stumulus ekonomi tidak transparan, maka korporasi dan BUMN berpotensi menikmati manfaat yang lebih besar daripada pelaku usaha di sektor informal dan UMKM yang notabene sangat terancam dan membutuhkan stimulus ekonomi yang lebih besar.
Sayangnya, informasi asimetris seringkali diabaikan dalam desain dan analisis program pemulihan ekonomi. Indikasinya terlihat dari anggaran yang digelontorkan untuk sektor informal dan UMKM.
Meski secara agregat terlihat cukup besar, namun jika dilihat per penerima manfaat, anggaran tersebut sejatinya terlihat kurang proporsional.
Sebagai gambaran, dana talangan modal kerja untuk BUMN yang meski terlihat lebih rendah dibandingkan UMKM, namun dana talangan modal kerja yang diterima oleh BUMN prioritas bisa mencapai Rp 1,6 triliun per penerima manfaat. Bandingkan dengan dana penjaminan kredit modal kerja bagi UMKM yang hanya sekitar Rp 208.000 per penerima manfaat.
Dengan komposisi dan distribusi bantuan seperti itu, maka agenda pencegahan pemutusan hubungan kerja (PHK) di balik stimulus fiskal rasanya sulit tercapai meski penyaluran bantuan sudah dipercepat.
Alasannya, perusahaan penerima manfaat di bawah program pemulihan ekonomi nasional belum sepenuhnya terbuka kepada pemerintah terutama terkait fungsi biaya mereka. Tanpa keterbukaan fungsi biaya, maka besarnya alokasi anggaran yang dikucurkan untuk menggerakkan dunia usaha rasanya tidak akan selalu berdampak positif terhadap pekerja terutama mereka yang berketerampilan rendah.
Seperti diketahui, korporasi cenderung mempertahankan pekerja berketerampilan tinggi daripada pekerja berketrampilan rendah karena alasan nilai tambah.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.