Dia bilang, ada kepentingan kesehatan, kepentingan industri dan kepentingan terkait lainnta. Menurut dia, dalam menerapkan tarif cukai ini tidak mudah karena selalu ada 4 pilar utama yang mendasarinya.
Empat pilar kebijakan cukai tersebut di antaranya, pengendalian konsumsi, optimalisasi penerimaan negara, keberlangsungan tenaga kerja, dan peredaran rokok ilegal.
Walau demikian, Kementerian Keuangan tetap menjaga agar semua kepentingan ini mampu diakomodir.
Baca juga: Pengusaha Rokok Tolak Simplifikasi Cukai Rokok
"Inilah sulitnya, di sisi lain Kementerian Keuangan juga harus mencari uang. Jadi gimana mengharmoniskan kepentingan tadi. Misalnya, konsumsi rokok harus turun, tapi industri harus hidup, karena ada kepentingan dengan pertanian, tenaga kerja, dan kita harus menjaga resultan tadi," jelas dia.
Nirwala menegaskan, realisasi penerimaan cukai, hampir setiap tahunnya selalu tercapai sesuai target yang ditetapkan di APBN. Pencapaian target juga berhasil ditorehkan juga pada saat pandemi seperti saat ini.
"Mengacu kepada data yang kita peroleh, tahun 2017 lalu capaian target realisasi mencapai 100,2 persen sedangkan pada tahun 2019 capaian target realisasi naik mencapai 103,8 persen," katanya.
Adapun Satriya Wibawa, peneliti dari Universitas Padjajaran (Unpad) memandang, masih ada celah dalam aturan kenaikan cukai pemerintah. Ia melihat, kenaikan cukai tahun sifatnya hanya jangka pendek dan secara jangka panjang akan memberatkan.
Baca juga: Penerimaan Negara dari Cukai Rokok Dinilai Bisa Tergerus
"Tidak tercapainya tujuan pada aturan tersebut akan menimbulkan gejolak sosial yang besar. Karena yang terdampak adalah masyarakat menengah ke bawah," ukar dia.
Menurut dia, IHT adalah hal yang sangat kompleks sehingga kita tidak bisa mengabaikan harga yang tidak sesuai dengan daya beli masyarakat. Karena konsumsi industri tembakau kita di dalam negeri bukan di luar negeri.
"Ini akan mengakibatkan pengurangan pekerja di beberapa industri," tegasnya.