BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan APRIL Asia Group

Perlunya Sinergi Swasta dan Pemerintah untuk Hadapi Ancaman Lingkungan dan Perubahan Iklim

Kompas.com - 25/08/2020, 12:30 WIB
Farhanah,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Di tengah pandemi Covid-19, isu ketahanan iklim diharapkan tetap mendapat perhatian serius dari seluruh pemangku kepentingan dunia. Pasalnya, hal tersebut akan berdampak pada keberlangsungan hidup manusia bila tak segera ditangani.

Ancaman dari faktor iklim dan lingkungan hidup bahkan sudah mendominasi 10 ancaman serius global satu dekade ke depan dalam laporan Global Risk Report 2020 yang dirilis World Economic Forum (WEC).

Ancaman tersebut menggeser beberapa ancaman lain yang selama ini mendominasi, seperti geopolitik dan ekonomi.

Adapun ancaman yang dimaksud itu disebabkan oleh cuaca ekstrem, kegagalan aksi iklim, bencana alam, kerusakan keanekaragaman hayati, dan bencana alam yang disebabkan kegiatan manusia.

Baca juga: SDGs Era New Normal: Pentingnya Sinergi Swasta dan Pemerintah Wujudkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat

Masyarakat dunia sebenarnya sudah merespons risiko ini dengan memasukkan inisiatif Sustainable Development Goals (SDGs) ke dalam rancangan pembangunan setiap negara sejak disepakati pada 2015.

Di Indonesia, pemerintah telah mengintegrasikan aksi perubahan iklim dan bencana ke dalam perencanaan pembangunan baik di level nasional dan daerah. Salah satunya dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2020.

Selain itu, pemerintah juga telah mengatur mengenai tata acara pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia lewat Perpres Nomor 19 Tahun 2017. Artinya, pembangunan di Indonesia diharapkan dapat sejalan dengan target merealisasikan 17 tujuan SDGs.

Pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga telah menetapkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) pada November 2016. Lewat dokumen ini, pemerintah menargetkan emisi GRK turun sebesar 29 persen dibandingkan skenario tanpa intervensi atau business as usual (BAU).

Baca juga: Roadmap SDGs Menuju 2030, Peta Jalan untuk Kemajuan Indonesia

“Kemudian bisa mencapai 41 persen dibandingkan BAU dengan bantuan dunia internasional pada 2030,” kata Direktur Jenderal Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman dalam Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) web series “Pathways To National Climate Resilience”, Kamis (13/8/2020).

Target penurunan emisi GRK difokuskan pada lima sektor, yaitu energi, limbah, industri, pertanian, dan kehutanan. Dalam target ini, sektor kehutanan dan energi diproyeksi menjadi penyumbang terbesar penurunan emisi.

“Secara jangka panjang, visi pengendalian perubahan iklim di Indonesia pada 2050 adalah terwujudnya net zero emission and climate resilience. Visi tersebut dibangun sejalan dan memperkuat visi 10 tahun Indonesia 2045,” jelas Ruandha.

Salah satu strategi dalam mewujudkan komitmen tersebut adalah penguatan ownership dari berbagai pihak, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sipil, lembaga keuangan, dan tentunya sektor swasta.

Baca juga: Rekaman dari Karang Ungkap Ancaman Bencana Iklim bagi Indonesia

Chairman IBCSD Sihol Aritonang yang hadir untuk memberikan opening remarks mengapresiasi langkah pemerintah dalam menanggulangi aksi perubahan iklim. Namun, Sihol menyadari butuh upaya bersama antara sektor swasta dan pemerintah agar penurunan emisi GRK bisa mencapai ekonomi hijau atau green economy yang maksimal.

Untuk itu, sebagai asosiasi perusahaan, kata Sihol, IBCSD akan mendorong perusahaan mengupayakan integrasi SDGs ke dalam operasional perusahaan dan mendorong kepemimpinan serta aksi kolektif sektor bisnis dalam rangka mendukung pencapaian SDGs di Indonesia.

“Beberapa contoh sudah dilakukan oleh anggota IBCSD yang menggambarkan bahwa sektor swasta memiliki peran besar dalam mendukung ketahanan iklim nasional serta tercapainya target-target SDGs dengan upaya melindungi dan memperbaiki penggunaan ekosistem di Indonesia,” kata Sihol dalam sambutannya.

Komitmen Grup APRIL menginisiasi program RER untuk dukung pencapaian SDGs poin 13.Farhanah Komitmen Grup APRIL menginisiasi program RER untuk dukung pencapaian SDGs poin 13.

Langkah nyata sektor swasta

Grup APRIL merupakan salah satu anggota IBCSD yang berkomitmen mendukung pembangunan berkelanjutan.

Produsen pulp dan kertas yang beroperasi di Pangkalan Kerinci, Provinsi Riau tersebut menginisiasi program Restorasi Ekosistem Riau (RER) yang berkontribusi terhadap aksi penanganan perubahan iklim sekaligus menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati di daratan.

Program itu telah dijalankan sejak 2013 sebagai upaya perusahaan untuk melindungi, memulihkan, dan melestarikan ekosistem hutan rawa gambut utuh seluas 150.693 hektare di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang, Riau.

“Melalui kegiatan mereka (Grup APRIL), area RER berhasil dijaga bebas dari kebakaran dan juga telah mengidentifikasi keberadaan hampir 800 jenis fauna dan flora di dalam area RER. Tentu ini sejalan dengan SDGs nomor 13 (penanganan perubahan iklim) dan 15 (ekosistem daratan),” jelas Sihol.

Baca juga: Pencemaran hingga Konflik Air, Ini 5 Dampak Perubahan Iklim bagi Indonesia

Dengan aksi nyata anggota IBCSD tersebut, lanjut Sihol, sustainability bukan lagi sekadar ajakan untuk menjaga lingkungan, melainkan sudah menjadi salah satu penentu daya saing sebuah bisnis.

External Affairs Director RER Nyoman Iswarayoga yang juga berbicara dalam webinar itu mengatakan, program RER juga berkontribusi dalam menjaga keanekaragaman hayati, beberapa di antaranya merupakan endemik asli Sumatera yang dilindungi. Selain itu, RER juga menyediakan jasa lingkungan bagi masyarakat.

“Keberadaan RER merupakan contoh dari peran sektor bisnis untuk turut menjaga dan meningkatkan ketahanan iklim nasional,” ujar Nyoman.

Sekelompok beruk (Macaca Nemestrina) yang termasuk spesies dilindungi kategori rentan tertangkap kamera di kawasan RER. APRIL Group Sekelompok beruk (Macaca Nemestrina) yang termasuk spesies dilindungi kategori rentan tertangkap kamera di kawasan RER.

Dalam menjaga ketahanan iklim, program RER menggunakan empat pendekatan kunci restorasi. Pertama, mencegah pembalakan liar, perambahan, pembakaran, dan perburuan satwa liar.

Kedua, terus mengkaji keanekaragaman hayati, stok karbon, dan kondisi sosial di sekitar area perusahaan.

Baca juga: PBB: Perubahan Iklim Harus Dilawan seperti Pandemi Virus Corona

Ketiga, memulihkan area yang teridentifikasi perlu dikembalikan fungsinya dengan penanaman pohon dan penutupan kanal-kanal lama sisa kegiatan manusia yang menebang pohon secara tidak bertanggung jawab.

Keempat, menciptakan ownership bersama dengan pemerintah, masyarakat, dan perusahaan lainnya.

Setiap elemen restorasi tersebut sejalan dengan strategi pemerintah dan IBCSD dalam mencapai tujuan SDGs poin ke-13 yang telah dijelaskan di atas.

Tentunya dibutuhkan kerja sama dan keselarasan langkah dalam mencapai tujuan itu mengingat Indonesia adalah negeri kepulauan atau archipelago yang memiliki hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia.

Semua upaya tersebut tak akan sia-sia ketika manusia menjaga alam karena alam pun akan memberikan manfaat yang baik kepada manusia.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com