Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Joseph Osdar
Kolumnis

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Kereta Api Cepat...

Kompas.com - 27/08/2020, 07:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Upacara groundbreaking itu ditandai dengan ucapan Presiden Joko Widodo yang dijadikan catatan inspirasi oleh Sukardi Rinakit: “Negara yang efisien, negara yang mempunyai kecepatan dalam memutuskan, kecepatan dalam membangun, itulah nanti yang jadi pemenang dalam persaingan antar negara.”

Catatan inspirasi ini memang sebuah retorika yang mempesona. Kalau di tahun 2020 ini megaproyek kereta cepat ini tidak selesai, apa pun alasannya, termasuk soal musim virus corona, “bapak berkaos cokelat di Lampung” itu masih akan melanjutkan mengatakan, “Ahh, paling cuma begitu saja. Dari dulu cuma “grounbreakang-groundbreaking”.

Bila tahun 2020 ini, megaproyek kereta cepat belum selesai, apa pun alasannya, mimpi anak pembawa bendera Merah Putih kecil dari plastik di tepi rel kereta api Berru - Parepare (Sulawesi Selatan) masih akan terus bermimpi dan menghentikan lantunan lagunya, “naik kereta api tut tut tut, siapa hendak turut, ke Berru..Parepare”.

Jakarta - Bandung pun tidak selesai empat tahun apalagi Beru- Parepare. Tapi, boleh dong mimpi terus.

Baca juga: Dilema Kereta Cepat, 36 Menit Sampai Bandung, Tapi Cuma di Pinggiran

Lebih romantis lagi seandainya nanti dalam sejarah perkeretaapian Indonesia, megaproyek kereta api cepat Jakarta - Bandung atau bahkan Jakarta - Surabaya dipersamakan dengan awal mulanya dibangun kereta api di negeri ini, sekitar 150 tahun lalu.

Perusahaan swasta Belanda, NISM (Nederlanch-Indische Spoorweg-Maatschappij) di bawah pimpinan pengusaha perkebunan swasta W Poolman membangun jaringan kereta api pertama di negeri ini antara Desa Kemijen Semarang sampai Desa Tanggung (Grobogan) sepanjang 25 kilometer antara 1864 sampai 1867 (tiga tahun).

Proyek itu kemudian dilanjutkan ke Solo dan berakhir di Yogyakarta tahun 1873). Proyek sepanjang 168 kilometer ini memakan waktu sekitar 10 tahun, melewati masa -masa sulit termasuk jaman paceklik dan pageblug. Hampir bersamaan dengan itu NISM juga membangun jalur kereta api Jakarta - Bogor yang kemudian dibeli Pemerintah Hindia Belanda.

Memang romantis bila proyek kereta cepat ini diparalelkan dengan pembangunan kereta api Semarang - Solo - Yogya 150 tahun lalu. Sebuah lompatan ke belakang yang fantastis.

Bapak berkaos cokelat di Lampung dan anak kecil pembawa bendera Merah Putih plastik kecil di Berru Sulawesi Selatan telah mendapat ruang dalam buku “Sudut Istana”. Keduanya tidak dikenal namanya, tapi mereka berasal dari warga “tidak bersuara” yang masuk “ruang bersuara”. Ini mungkin bisa sebagai apa yang diharapkan Ari Dwipayana? Atau tidak ada kaitannya. Lalu apa?

Cepat menghubungkan satu dengan lain (termasuk satu kota dengan kota lainnya dengan rel kereta api) memang bagus, tapi perlu prudent (kehati-hatian). Jangan sampai jadi kereta api hantu atau kereta api corona. (Osdar, Taman Cipulir, Senin 24 Agustus 2020).

Baca juga: Bagaimana Perkembangan Proyek Kereta Cepat Jakarta - Bandung?

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com