Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

6 Bulan Pendemi di Indonesia, Penyerapan Produk Pertanian Jadi Persoalan

Kompas.com - 03/09/2020, 09:05 WIB
Yohana Artha Uly,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kini virus corona sudah 6 bulan masuk ke Indonesia sejak temuan kasus pertama diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2 Maret 2020 lalu. Imbasnya tak hanya pada kesehatan, tapi juga perekonomian.

Sejumlah upaya perbaikan dari sisi kesehatan hingga ekonomi terus dilakukan. Tapi tetap saja ada catatan bagi pemerintah dalam penanganannya, salah satunya pada sektor pertanian.

Pada kuartal II-2020 pertanian memang menjadi salah satu sektor yang tumbuh positif 2,19 persen, ketika sebagian besar sektor ekonomi anjlok. Kinerja pertanian pun menjadi penopang pertumbuhan ekonomi, lantaran kontribusinya terbesar kedua yakni 15,46 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Baca juga: Indeks Harga Grosir pada Agustus Turun 0,07 Persen, Didominasi Sektor Pertanian

Tapi bila ditilik lebih dalam, kinerja tersebut tak sepenuhnya terjadi pada subsektor pertanian. Pada kuartal II-2020 peternakan terkontraksi 1,83 persen seiring dengan penurunan permintaan unggas.

Sementara pada tanaman hortikultura memang mengalami pertumbuhan 0,86 persen, tapi lebih rendah dari pertumbuhan kuartal I-2020 yang sebesar 2,55 persen.

Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori mengatakan, di masa pandemi yang menjadi persoalan adalah produksi pertanian terus berjalan namun penyerapannya rendah. Ini karena daya beli masyarakat turun dan banyak aktivitas yang selama ini menjadi pasar produk petani di tutup.

"Semula banyak pihak meramalkan, termasuk saya, produksi pertanian akan tertekan karena Covid-19. Tapi setelah berjalan 6 bulan, tekanan tidak besar, petani tetap berproduksi dengan baik karena tidak banyak yang terjangkit virus," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (3/9/2020).

Kondisi pasokan dan permintaan yang tak seimbang itu terus berlanjut, dan pada akhirnya membuat produk tidak terbeli. Lambat laun, harga-harga produk pertanian menjadi anjlok, tercermin dari dua bulan berturut Indonesia mengalami deflasi.

Baca juga: Indonesia Akan Ekspor 100 Ton Bawang Goreng ke Malaysia

Pada Juli 2020 deflasi sebesar 0,10 persen dan Agustus 2020 terjadi deflasi 0,05 persen, dengan kelompok bahan pangan memberi andil terbesar pada kedua bulan tersebut.

Komoditas penyumbang terbesar deflasi berasal dari produk hortikultura, umumnya bawang merah, bawang putih, tomat, bayam, timun, hingga cabai rawit. Selain itu berasal pula dari produk peternakan yakni utamanya daging ayam dan telur ayam ras.

"Yang jadi masalah saat pandemi justru banyak produk yang dihasilkan petani tidak terserap pasar, terutama produk hortikultura seperti sayuran dan bumbu-bumbuan, juga produk unggas," kata Khudori.

Padahal, lanjutnya, produk-produk tersebut tidak bisa bertahan lama. Oleh sebab itu, ia menilai pemerintah harus bisa mengeluarkan kebijakan yang tepat untuk para petani dan peternak bisa mendapatkan kepastian pasar.

Khudori mengatakan, pemerintah telah menggelontorkan anggaran Rp 695 triliun untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) terkait Covid-19. Tapi tak ada sepeserpun yang dialokasikan untuk pertanian.

Baca juga: Strategi Sri Mulyani Agar Produk Pertanian Dapat Dikirim ke Luar Negeri

Saat pandemi, pemerintah banyak meluncurkan bantuan sosial (bansos), juga memperluas dan memperbesar bansos yang sudah ada. Lewat bansos tersebut, kata Khudori, mestinya bisa disambungkan dengan kebutuhan petani akan perlunya pasar buat mereka.

"Sejauh ini belum banyak yang dilakukan pemerintah terkait ini. Saya belum melihat ada upaya sistematis untuk menangani penyerapan produk hasil petani ini," ujarnya.

Ia menyatakan, pemerintah bisa belajar dari China dan Amerika Serikat (AS) yang memiliki program terbilang tak biasa untuk membantu menyerap produksi pertanian. Misalnya dengan pembelian langsung (direct payment) produk pertanian oleh pemerintah.

Ada pula bank makanan atau foodbank, semacam usaha pemerintah untruk menyerap, mensortir, dan mengemas hasil petani kemudian dikumpulkan di suatu tempat. Tempat tersebut bisa jadi pasar yang sengaja dibuat untuk menyerap produk petani.

"Kebijakan serupa seperti di AS dan China perlu dilakukan di sini (Indonesia) karena itu memang dibutuhkan petani," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com