BELAKANGAN ini muncul pembicaraan tentang berapa jumlah international airport atau Aerodrome Antar Bangsa yang selayaknya dikelola untuk sebuah negara dalam hal ini khususnya negara Indonesia.
Sebelum masuk dalam pembicaraan pada topik menarik tersebut, mari kita teliti beberapa catatan pendahuluan sebagai berikut.
Pandemi Covid 19 yang mulai muncul di Wuhan dan secara masif menyebar cepat ke seluruh dunia, adalah berkat terselenggaranya “Air Connection” yang difasilitasi penerbangan internasional berbagai maskapai penerbangan yang menggunakan pesawat terbang modern canggih dan hi-tech.
Baca juga: Kemenhub Bahas Status 8 Bandara Internasional untuk Diubah Jadi Domestik
Sebagai respon pertama yang dilakukan banyak negara adalah tindakan pencegahan yang dianggap paling ampuh yaitu “lockdown” dalam hal ini terutama menutup bandara internasional bagi penerbangan antar bangsa terutama dari negara asal dan dari negara yang terdampak Covid-19.
Akibat logis dari lockdown adalah arus pergerakan penumpang turun drastis terutama penerbangan internasional.
Sebagai dampak ikutan dari hal tersebut, maka penerbangan kargo dan penerbangan charter tidak banyak terpengaruh, bahkan pada titik tertentu justru meningkat.
Dengan diberlakukannya protokol kesehatan yang meluas di seluruh dunia, maka pemeriksaan orang dan barang keluar masuk sebuah negara di bandara internasional mengalami perubahan drastis, yaitu melalui berbagai prosedur tambahan yang memperketat lalu lalang penumpang antar negara.
Demikianlah, maka mekanisme perjalanan penumpang antar bangsa berubah sekaligus turun drastis dalam konteks upaya pemerintah mencegah meluasnya penyebaran virus Covid-19.
Baca juga: Penataan Kembali Penerbangan Nasional Pascapandemi Covid-19
Sekarang mari kita bahas tentang bandara internasion, yang sejatinya adalah berfungsi sebagai “pintu masuk” atau “entry gate” sebuah negara. Itu sebabnya maka bandara internasional idealnya terletak di wilayah terluar atau pada kawasan sekitar perbatasan negara.
Dengan berbagai permasalahan, maka banyak bandara internasional yang justru letaknya jauh di daerah atau kawasan yang masuk ke dalam wilayah teritorial negara.
Dengan kondisi yang seperti itu, maka salah satu persyaratan sebuah bandara internasional adalah harus tersedianya pelayanan CIQ, Customs, Immigration and Quarantine.
Di manapun letak sebuah bandara internasional, dekat perbatasan atau masuk kedalam wilayah negara dia pasti akan tetap diberlakukan sebagai “batas” sebuah negara.
Itu pula yang menjelaskan pada kita semua bahwa institusi Imigrasi pada negara-negara tertentu memakai istilah atau sebuah terminologi yang menggambarkan refleksi dari atau tentang tanggung jawabnya yaitu “Immigration and border protection”. Institusi imigrasi yang sekaligus berfungsi sebagai "penjaga perbatasan."
Sekali lagi, bandara internasional adalah pintu masuk negara, yang harus aman dari keluar masuknya orang dan barang.
Jangan lupa, tidak hanya barang dan orang akan tetapi juga, sudah terbukti luas sekarang ini menjadi pula pintu masuknya “virus” yang mungkin atau dapat melekat pada keluar masuknya manusia, barang dan atau tanaman.
Baca juga: Ini Tiga Jurus yang Dilakukan Industri Penerbangan di Masa Pandemi
Sampai di sini maka pengertian tentang keamanan nasional atau National Security yang melekat di Bandara Antar Bangsa menjadi mudah untuk dicerna dan dimengerti. Itu sebabnya pemeriksaan menyangkut dokumen dan perijinan menjadi keharusan untuk dilakukan dengan ekstra ketat.
Wewenang ini berperan sekaligus sebagai salah satu upaya penting dalam melindungi negara dari berbagai ancaman bahaya. Salah satu upaya yang merupakan bagian utuh dari penegakkan kedaulatan sebuah negara.
Sebuah upaya yang memerlukan dukungan dana , sdm berkualitas dan sejumlah peralatan canggih, di samping mekanisme tata laksana manajemen modern dan faktor leadership.
Inilah salah satu pertimbangan yang menyebabkan tidak ada satupun negara di dunia yang membuka pintu masuk (bandara internasional) pada setiap kota di wilayahnya.
Baca juga: Dewan Penerbangan dan Covid-19
Bagaimana dengan Indonesia? Negara Indonesia sangat luas terletak dalam posisi yang sangat strategis, berbentuk kepulauan yang tersebar dan sebagian besar berbentuk pegunungan.
Perhubungan udara menjadi sangat penting perannya dalam keberlangsungan kehidupan sebagai sebuah bangsa.
Setidaknya, perhubungan udara mutlak diperlukan dalam tatakelola administrasi dan dukungan logistik birokrasi pemerintahan, penyelenggaraan pelayanan angkutan udara bagi masyarakat, dan yang tidak kalah penting sebagai sumber pendapatan negara pada perspektif bisnis dan investasi bidang angkutan udara dalam negeri.
Nah, dengan posisi dan kondisi seperti itulah maka kita harus berhitung dengan cerdas di mana dan berapa banyak Bandara Antar Bangsa yang layak dikelola.
Menghadapi pandemi Covid-19 sebagai “global threat” yang belum diketahui bila akan berakhir, ditambah lagi dengan tengah terbukanya peluang yang masih terbuka lebar pada rute domestik terutama angkutan barang dan penerbangan charter, maka sangat masuk akal bila kita membatasi pintu masuk ke Indonesia “untuk sementara waktu” hanya dikelola di SHIA (Soekarno-Hatta International Airport).
Pertimbangan ini semata bersandar kepada National Security yang sekaligus mempertimbangkan perlindungan bisnis penerbangan domestik. Ingat, tidak banyak negara mampu bersandar pada pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan sisi penerbangan dalam negerinya.
Baca juga: Disinggung Jokowi, Ini Kerugian Banyaknya Bandara Internasional di Indonesia
Sebuah tindakan yang patut dipikirkan dengan matang dalam pengelolaan mengatasi penyebaran Covid-19 yang parallel dengan upaya menumbuhkan pembangunan ekonomi nasional melalui sektor perhubungan udara domestik.
Sebuah strategi menggunakan “national air asset” bagi mendukung kebijakan Luar Negeri dan National Interest serta National Policy dalam kerangka langkah Air Diplomacy.
Sebuah tindakan dalam mengelola Aerodrome Antar Bangsa yang dapat menumbuhkan rasa optimistik masyarakat luas terhadap upaya pemerintah menghadapi ancaman global pandemi Covid-19 untuk dapat segera diselesaikan.
Optimism is a prime mover to make our dream come true!
Jakarta, Jumat 4 September 2020
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia