Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[POPULER DI KOMPASIANA] Mengenang Jakob Oetama | Era Baru Dunia Kerja | Gejala Lonely Marriage

Kompas.com - 12/09/2020, 17:00 WIB
Harry Rhamdhani

Penulis

KOMPASIANA---Pendiri Kompas Gamedia Jakob Oetama wafat pada usia 88 tahun, Rabu (09/09/2020) di Rumah Sakit Mitra Keluarga. Jakob Oetama disemayamkan di TMP Kalibata.

Wakil Presiden RI Periode 2004-2009 dan 2014-2019 M Jusuf Kalla saat menjadi inspektur upacara pemakaman Pendiri Kompas Gramedia sekaligus Pemimpin Umum Harian ”Kompas” Jakob Oetama di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Jakob Oetama mewariskan pemikiran hakikat jurnalisme bagi ”Kompas” dan juga untuk pers di Indonesia: laku jurnalistik yang tegas, tetapi penuh welas asih.

Itulah yang semestinya bisa dijadikan oleh insan pers --dan para penulis secara umum.

Selain duka atas berpulangnya Jakob Oetama, pada pekan ini Kompasiana juga diramaikan cerita menarik lainnya seperti era baru kehidupan kerja hingga gejala lonely merriage yang mesti diwasapai pasutri.

Inilah 5 konten menarik dan terpopuler di Kompasiana dalam sepekan:

1. Jakob Oetama, Istilah Jurnalisme Kepiting, dan Diplomasi Media Melawan Korupsi

Ada hal penting dan menarik yang ditulis oleh Kompasianer Leya Cattleya mengenang Jakob Oetama, yakni penghargaan dari Tiga Pilar Kemitraan berkaitan dengan Hari Antikorupsi.

"(Menarik) karena di masa yang lalu sempat ada perdebatan tentang bagaimana strategi media digunakan oleh Jakob Oetama dalam melawan korupsi," tulisnya.

Seorang Jakob Oetama, lanjutnya, sangat jelas keberpihakannya pada gerakan anti korupsi. Keberpihakan itu tentu menjadi acuan banyak pihak mengingat ia mewarnai media paling berpengaruh di Indonesia ini.

Hal itulah yang kemudian bagi pembaca merasa beragam liputan Kompas mengenai peristiwa korupsi sungguh berbeda, memiliki gayanya sendiri. (Baca selengkapnya)

2. Jakob Oetama, Tajuk Rencana, dan Duka Kompasianer

Sebagai sesama wartawan, warisan yang amat kentara dari Jakob Oetama kepada Kompasianer Efrain Limbong adalah membaca Tajuk Rencana dari Harian Kompas.

"Jujur saja Tajuk Rencana koran Kompas menjadi salah satu referensi bagaimana saya harus mengembangkan kemampuan untuk menulis yang mumpuni," kenangnya kala masih menulis di surat kabar harian di Kota Palu.

Pasalnya, setiap kali membaca Tajuk Rencana itu tidak sekadar menarik dan enak dibaca, melainkan juga memberikan edukasi dan pencerahan bagi pembaca akan objek pemberitaan yang menjadi ulasan.

Pada akhirnya, Tajuk Rencana bisa dilihat sebagai bagian kecil dalam menyoroti Indonesia secara luas. (Baca selengkapnya)

3. Kematian Gedung Perkantoran dan Era Baru Kehidupan Kerja

Sudah siap atau belum, kini kita telah mengalami perubahan luar biasa yang mesti diterima dan sikapi.

"Lupakan pergi ke kantor setiap hari, dan mulai masuk dalam era hidup kerja yang penuh fleksibilitas jadual yang bisa dikerjakan dari rumah saja tanpa harus hadir di kantor," tulis Kompasianer Yupiter Gulo.

Pola kerja dari rumah ini, menurut Kompasianer Yupiter Gulo, bisa saja berlanjut hingga memasuki tahun 2021.

Secara semantik modern office berarti menunjuk pada dapur sekrtariat yang mengelola informasi, dokumentasi, meeting dan komunikasi lainnya. Dan semua itu bisa dilakukan dan dikendalikan secara daring. (Baca selengkapnya)

4. Pasutri Perlu Waspada Gejala Lonely Marriage

Barangkali banyak pasangan suami-istri yang sudah mengalaminya akan tetapi tidak tahu bagaimana mesti menyikapi gejala-gejala lonely Marriage.

Kondisi tersebut biasa telihat ketika pasutri secara fisik masih bersama tetapi secara emosional tidak lagi terkoneksi.

"Pasutri yang mengalami lonely marriage mungkin masih saling berbicara, tetapi mereka tidak lagi mengomunikasikan harapan, ketakutan, dan impian," tulis Kompasianer Siska Dewi.

Akan tetapi tidak takut, karena permasalahan rumah tangga seperti ini bisa diperbaiki. Langkah yang paling mudah: ubah cara dalam berperilaku. (Baca selengkapnya)

5. Kisah Muhtar dalam Merawat Tradisi Maritim di Bumi Nggahi Rawi

Kompasianer Suradin mengajak kita untuk kenal lebih dalam sosok yang masih merawat tradisi maritim di bagian Timur Indonesia.

"Dialah Muhtar, dirinya berhenti sekolah ketika masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Dia telah berpindah banyak kampung, sebelum benar-benar menetap di pesisir desa Hu'u, Kecamatan Hu'u, Kabupaten Dompu NTB," tulis Kompasianer Suradin menjelaskan secara singkat profilnya.

Singkat cerita, pengalaman yang didapat Muhtar tentang membuat kapal dengan berbahan kayu didapatnya ketika merantau.

"Waktu ketika mau berlayar dari pelabuhan Banjarmasin menuju pelabuhan Lembar, Lombok Barat, saya diajak mengambil potongan kayu dari perusahaan yang tidak terpakai untuk dijual di pelabuhan Lembar. Bahkan dari hasil jualan potongan kayu itu, saya dapat uang untuk membeli rokok", ujar Muhtar. (Baca selengkapnya)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com