Oleh Pihri Buhaerah
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) yang diusulkan oleh pemerintah hingga kini terus saja menuai kontroversi. Bahkan, sejumlah pihak terutama serikat pekerja menuding substansi ketenagakerjaan dalam RUU tersebut terlalu berpihak pada kepentingan pengusaha.
Jika ditelisik lebih mendalam, penolakan tersebut sejatinya dapat dipahami. Alasannya, sejumlah pasal yang dihapus memang berpotensi menciptakan informalisasi pasar tenaga kerja dalam skala yang lebih luas.
Hal itu ditunjukkan dengan dihapusnya Pasal 59 dan Pasal 66 ayat (1) dalam RUU Cipta Kerja. Dengan dihapusnya kedua pasal tersebut, maka sistem perjanjian kerja untuk waktu tertentu nantinya bisa diterapkan pada semua jenis pekerjaan tanpa mengenal batas waktu.
Sementara itu, dari sisi pemerintah, RUU Cipta Kerja diharapkan dapat memangkas dan menyederhanakan berbagai regulasi yang saling tumpang tindih sehingga iklim investasi menjadi lebih baik.
Dalam konteks ini, sejumlah regulasi yang dianggap menghambat investasi seperti UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU No.24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial perlu disesuaikan dengan situasi perekonomian nasional saat ini.
Seperti diketahui, meski memiliki sejumlah kelemahan, namun substansi ketenagakerjaan dalam ketiga UU tersebut dianggap masih lebih baik dibanding usulan perubahan dalam RUU Cipta Kerja. Artinya, aspek perlindungan tenaga kerja dalam ketiga UU tersebut dianggap sebagai penghambat investasi dan perluasan tenaga kerja.
Dengan kata lain, melambatnya laju investasi dan pertumbuhan lapangan kerja ditengarai karena pasar tenaga kerja dalam negeri yang kurang fleksibel. Konsekuensinya, informalisasi pasar tenaga kerja dianggap sebagai solusi permanen untuk mendongkrak investasi dan perluasan lapangan kerja. Padahal, dominasi pekerja sektor informal dalam pasar tenaga kerja terus meningkat dari waktu ke waktu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, porsi pekerja informal di Indonesia mencapai 74,08 juta orang atau 57 persen dari total penduduk yang bekerja. Celakanya, tren tersebut sudah berlangsung cukup lama.
Tak berhenti di situ, struktur upah pun harus disesuaikan karena dianggap belum mencerminkan tingkat produktivitas sehingga menghambat investasi. Dengan begitu, kepastian berusaha bagi pengusaha dan investor menjadi lebih terjamin.
Sayangnya, argumen yang dibangun pemerintah bersama pengusaha mengandung sejumlah kontradiksi.
Pertama, RUU Cipta Kerja tampaknya melupakan besarnya peran konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi. Implikasinya, informalisasi lapangan kerja dalam skala yang lebih luas jelas akan menurunkan tingkat konsumsi rumah tangga. Alasannya, konsumsi rumah tangga yang bersumber dari pendapatan modal relatif masih terjaga sedangkan upah pekerja yang cenderung di bawah standar upah yang layak.
Hal itu tercermin dari sisi pendapatan modal yang terlihat belum menghadapi kendala yang cukup berarti karena tingkat suku bunga dan indeks harga saham gabungan (IHSG) masih di level yang kompetitif.
Sementara dari sisi pendapatan upah terlihat tidak begitu positif karena karena rasio pendapatan pekerja terhadap produk domestik bruto (PDB) masih di bawah 40 persen (ILO, 2020).
Kedua, tuntutan kenaikan upah yang layak adalah wajar karena Indonesia sudah memasuki fase industri manufaktur terbatas (limited manufacturing). Laporan pembangunan Bank Dunia 2020 menyatakan, tuntutan kenaikan upah cenderung akan meningkat saat proses industrialisasi suatu negara telah memasuki fase industri manufaktur terbatas.