Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

Renungan Hari Perhubungan Nasional: Kebingungan Transportasi

Kompas.com - 17/09/2020, 16:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bagaimana hal ini bisa terjadi? Bukankah seharusnya saat membangun sebuah bandara, sudah harus dilengkapi sarana dan prasarana penunjang seperti jalan untuk memperlancar transportasi dari dan menuju bandara? Lalu menjadi pertanyaan, bagaimana pola transportasi terpadu yang diajukan saat bandara ini dibangun?

Baca juga: Menhub: Pandemi Covid-19 adalah Masa Suram bagi Bisnis Transportasi

Contoh lain adalah pembangunan Bandara Baru Yogyakarta untuk menggantikan Bandara Adisucipto yang dinyatakan sudah tidak layak sisi darat maupun udara, sehingga dibangunlah bandara baru yang berjarak 30-40 km dari bandara lama.

Padahal dalam radius yang hampir sama, sudah ada bandara yang besar dan lebih representatif dari sisi ruang udara, runway dan terminal serta lebih sepi lalu lintas penerbangannya. Hanya saja bandara itu ada di Solo Jawa Tengah, bukan masuk wilayah DI Yogyakarta.

Pola Transportasi Nasional

Jika ada pola transportasi nasional yang baik, niscaya cukup dibuat transportasi darat, baik itu jalan tol maupun kereta api cepat yang menghubungkan dua bandara di dua propinsi tersebut.

Transportasi darat itu harus cepat, misalnya waktu tempuh 1 jam, sehingga penumpang Jogja yang turun di Solo atau sebaliknya tidak merasa dirugikan. Waktu tempuh 1 jam itu sudah biasa. Seperti orang Jakarta yang hendak ke Bandara Soekarno-Hatta atau orang Medan yang hendak ke Bandara Kualanamu.

Namun jalan tol atau jalur kereta itu juga harus mempunyai pintu keluar atau stasiun di beberapa tempat. Antara Jogja-Solo banyak tempat wisata, sehingga transportasi darat itu juga bisa menunjang pariwisata.

Sudah banyak kajian yang dibuat yang hasilnya mendukung hal tersebut dengan resiko yang kecil. Hambatan yang paling mungkin adalah hambatan kultur sosial sejarah antara Yogya dan Solo yang walaupun bersaudara namun tak akur. Tetapi bukankah itu juga bisa menjadi salah satu atraksi wisata tersendiri? Bagaimana dua saudara kerajaan namun pada akhirnya berjalan sendiri dengan kulturnya masing-masing. Menarik bukan?

Namun Bandara Baru Yogyakarta tetap dibangun dengan meninggalkan banyak pertanyaan, bagaimana nasib bandara tersebut dan nasib bandara Adi Sumarmo di Solo nantinya yang jaraknya berdekatan. Mengingat peruntukan dua bandara tersebut hampir sama, yaitu selain untuk penerbngan domestik, juga untuk penerbangan pariwisata internasional. Sedangkan pangsa pasarnya tidak sebesar wilayah Jabodetabek yang punya dua bandara.

Contoh lain lagi adalah program Tol Laut yang menjadi program andalan pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama (2014-2019). Program ini mempunyai misi sangat bagus, yaitu memberi pemerataan ekonomi (atau pemerataan harga) antara pusat-pusat produksi di Indonesia bagian barat dengan di pedalaman sebelah timur.

Baca juga: Menhub Akui Pandemi Ganggu Pembangunan Infrastruktur Transportasi

Misi itu hampir saja berantakan di awalnya karena barang produksi yang dikirim lewat Tol Laut, menumpuk di pelabuhan, tidak bisa diangkut ke pedalaman Papua. Pola transportasi lanjutan yang terpadu tidak dibuat.

Untunglah, walaupun agak telat, bisa dibentuk jembatan/ tol udara untuk mengangkut barang-barang tersebut ke pedalaman. Itupun sempat terjadi kebingungan, bagaimana mengangkut barang dari pelabuhan ke bandara yang tentu saja memerlukan transportasi darat? Juga jenis barang apa yang bisa disalurkan mengingat dimensi muat kapal dan pesawat jauh berbeda?

Tol laut diklaim bisa menurunkan harga barang di pedalaman Papua. Namun dengan konsekuensi biaya pengangkutannya disubsidi Pemerintah. Lalu bagaimana jika subsidi dicabut?

Sebuah media massa pada awal tahun 2020 melakukan peliputan investigatif terkait program ini dengan kesimpulan bahwa program tol laut belum efisien dalam mencapai tujuannya menurunkan disparitas harga terutama di pelosok-pelosok Indonesia bagian timur.

Pemerintahan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya juga mempunyai program hampir mirip yaitu Pendulum Nusantara untuk membantu program MP3EI. Hanya saja Pendulum Nusantara tidak muluk-muluk bisa mencapai pedalaman Papua.

Tanpa perencanaan transportasi yang baik, niscaya Tol Laut akan bernasib sama dengan Pendulum Nusantara, yaitu dilupakan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com