Ayo Indonesia terbang lagi
Sebenarnya di tahun 2019, dunia penerbangan Indonesia tengah berhadapan dengan gejolak ketiga, yang belum sempat untuk diatasi dengan tuntas. Gejolak ini adalah isu tarif pesawat yang di klaim banyak pihak sebagai “mahal sekali”. Isu ini merupakan resultante dari selesainya perang harga yang diikuti banyak kecelakaan serta bergugurannya maskapai penerbangan domestik.
Dengan jumlah maskapai yang tinggal sedikit, dan kondisi kelelahan dalam alur panjang perang harga “adu murah” tiket , dengan sangat terpaksa mereka harus kembali pada perhitungan normal yang tentu saja pasti akan dinilai menjadi “mahal sekali” oleh para pengguna jasa angkutan udara.
Pengguna jasa angkutan udara dalam negeri sudah terlanjur dimanja oleh harga tiket produk dari hasil perang adu murah pada tenggang beberapa waktu lamanya. Harga yang bukan harga sebenarnya.
Pada titik inilah, maka kita semua baru menyadari terhadap realita yang terjadi, bahwasanya selama ini keuntungan dari pertumbuhan penumpang yang fantastis itu ternyata akan hanya menjadi milik sebagian saja para pihak. Bukan miliknya masyarakat luas.
Realitanya di permukaan, terlihat sulit sekali para pelaku usaha penerbangan nasional mau mengikuti imbauan pemerintah untuk menurunkan harga tiket kembali seperti semula. Mereka tidak lupa bahwa ada andil pemerintah dalam turut menciptakan pasar angkutan udara nasional hingga mencapai pada taraf yang sangat besar, akan tetapi itu adalah memang sebuah ongkos yang harus dibayar dari “perjuangan” bertahun-tahun yang telah dilakukan.
Nah, di tengah-tengah proses penyelesaian soal tarif pesawat, tiba-tiba saja kemudian muncul sang Pandemi Corona Virus Covid-19 yang memporakporandakan pasar angkutan udara global, tidak terkecuali Indonesia.
Dapat dikatakan, hampir semua maskapai penerbangan di seluruh dunia, lempar handuk dan menyerahkan diri kepada pemerintah masing-masing untuk dapat memperoleh bantuan demi menyelamatkan hidup mereka.
Market, seluruh maskapai dan investor kesemuanya berpaling kepada pemerintah untuk memohon bantuan. Mereka menyerah atau akan menghadapi kebangkrutan. Inilah momentum yang dapat dikatakan sebagai adegan “Back to Basic” atau “Back to Nature”.
Back to basic dalam pengertian kembali kepada The Real things dari The Origin Rules of the game. Kembali kepada aturan main yang mendasar, kembali kepada norma dari sebuah pemerintahan alias Government yang tugas pokoknya adalah “To Govern”, mengatur.
Kembali menjadi jelas mana yang regulator dan mana yang operator, kembali kepada peran masing-masing sesuai tugas pokok dan fungsinya. Kembali menjadi jelas siapa sebagai pemain dan siapa sebagai wasit.
Dengan pola yang seperti itulah maka akan dapat diharapkan keuntungan nantinya yang tidak hanya mengalir kepada sebagian pihak saja, tidak hanya pada pasar dan investor saja, akan tetapi mudah-mudahan, Insya Allah dapat merata kepada semuanya, merata pada kesejahteraan masyarakat luas, merata bagi kepentingan nasional.
Pemerintah dapat segera melakukan pembenahan dan penyesuaian aturan serta menetapkan sasaran jangka pendek untuk mengatasi ini semua. Dalam konteks pembenahan aturan, sudah selayaknya harus mencakup platform dari protokol kesehatan yang harus di patuhi tanpa syarat.
Namun pola kepatuhan terhadap ketentuan protokol kesehatan, hendaknya tidaklah pula akan menjadi hambatan bagi upaya membangkitkan lagi gairah penumpang dalam menggunakan kembali jasa angkutan transportasi udara. Misalnya saja tentang pembatasan yang 70 persen bagi muatan pesawat, perlu ditinjau ulang tanpa mengabaikan standar protokol kesehatan yang berlaku.
Kelengkapan HEPA, High Efficiency Particulate Air, pada kabin pesawat terbang patut pula menjadi rujukan bagi ketentuan prosentasi jumlah penumpang yang dapat diijinkan terbang.
Demikian pula mengenai subsidi, relaksasi keringanan pajak dan sejumlah fasilitas yang akomodatif sifatnya bagi dunia bisnis penerbangan. Keringanan-keringanan lain yang dapat menjadi stimulus dalam bisnis transportasi udara sudah seharusnya pula turut dikembangkan.
Pada titik inilah mungkin saja penerapan metoda “National Single Window Policy” sudah dapat mulai diterapkan dalam urusan birokrasi penerbangan nasional. Penanganan ini yang dalam lingkungan berbobot teknologi tidak punya pilihan lain dari sebuah mekanisme standar yang berorientasi kepada komando terpadu atau “Unified Command and Control”.
Adapun sasaran yang hendak dituju, setidaknya akan mencakup 2 hal penting yaitu pada bidang pengelolaan penerbangan internasional dan jejaring penerbangan domestik.