Celah ini membuka peluang perusahaan rokok memproduksi rokok tidak lebih dari 3 miliar batang per tahun di masing-masing jenis agar dikenakan cukai lebih murah.
Dengan celah ini, satu pabrikan dapat memproduksi SKM lebih dari 3 miliar batang per tahun dan membayar cukai Golongan 1 SKM, tapi SPM yang kurang dari 3 miliar batang per tahun tetap boleh membayar tarif cukai SPM Golongan 2 yang lebih murah.
Padahal, berbagai studi menyebut jika pemerintah menggabungkan perhitungan total produksi SPM dan SKM sebagai basis penentuan golongan pabrikan untuk pembayaran cukai, negara akan mendapatkan tambahan penerimaan lebih dari Rp 1 triliun.
Angka ini semakin besar karena pada tahun 2020 pemerintah menaikkan tarif cukai rokok rata-rata 23 persen.
Kebijakan ini juga akan menyebabkan pabrikan besar yang memiliki kekuatan modal dan jaringan pemasaran yang luas "naik kelas" dan membayar tarif cukai rokok paling mahal.
Celah penghindaran pajak bukan hanya berpotensi merugikan keuangan negara. Celah ini juga mendorong perusahaan raksasa menjual produk lebih murah dan berkompetisi langsung dengan pabrikan menengah dan kecil.
Jadi struktur tarif cukai yang seperti saat ini justru menciptakan iklim kompetisi bisnis yang tidak sehat karena perusahaan menengah dan kecil bersaing langsung dengan perusahaan raksasa.
Simplifikasi dan penggabungan perhitungan total SKM dan SPM akan secara tegas memisahkan pabrikan besar dengan produksi di atas 3 miliar batang per tahun dan pabrikan yang benar-benar kecil, dengan total produksi SKM dan SPM di bawah 3 miliar batang/tahun.
Sementara untuk SKT dan SPT yang merupakan industri padat karya, penyederhanaan struktur tarif cukai rokok hanya menyederhanakan dari 4 strata menjadi 3 strata.
Yang terdampak hanya pabrik rokok SKT/SPT golongan I yang notabene pabrikan besar dengan produksi di atas 2 miliar batang/tahun.
Adapun Golongan II dan III, yakni pabrikan yang memproduksi rokok kurang dari 2 miliar dan 500 juta batang per tahun tidak terdampak sama sekali.
Fakta ini menunjukkan kebijakan simplifikasi struktur tarif cukai seperti tercantum dalam PMK 146/2017 hanya berdampak pada pabrik rokok besar yang memproduksi rokok menggunakan mesin baik SKM maupun SPM.
Pendapat yang menyatakan penyederhanaan akan merugikan pabrik rokok kecil dan menengah serta merugikan buruh dan petani tembakau, sesungguhnya tidak berdasar sama sekali. Justru penyederhanaan struktur tarif cukai menjadi kebijakan yang menyelamatkan nasib buruh dan petani tembakau.
Cukai pada dasarnya bukan sekadar instrumen kebijakan untuk penerimaan negara, namun juga berfungsi mengendalikan konsumsi barang tertentu seperti rokok.
Namun, struktur cukai yang rumit pada akhirnya justru mengurangi efektivitas cukai sebagai instrumen pengendali konsumsi rokok.