JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia dipastikan mengalami resesi, yaitu ketika negara mengalami pertumbuhan negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Resesi dapat diartikan perlambatan atau roda ekonomi berhenti, dengan kondisi daya beli masyarakat menurun, lesunya aktivitas ritel dan industri manufaktur, serta tingkat pengangguran semakin meluas akibat terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pemerintah pun telah menggulirkan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) guna mendukung para pelaku ekonomi yang terdampak pandemi.
Baca juga: Menkop Teten: Penyerapan BLT UMKM Rp 2,4 Juta Sudah 72,46 Persen
Program PEN fokus mendukung kinerja BUMN, swasta UMKM, hingga masyarakat melalui berbagai stimulus pendanaan seperti penundaan pembayaran kredit, penjaminan modal kerja, subsidi bunga, kompensasi dan restrukturisasi kedit bagi pelaku usaha yang terdampak Covid-19.
Namun demikian, menurut pengamat Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Suhaji Lestiadi, alokasi dana sebesar 2,5 persen dari PDB untuk pemulihan ekonomi masih terlalu kecil.
Sebab, banyak negara terdampak Covid-19 lainnya di dunia mengalokasikan dana bagi PEN minimal sebesar 10 persen dari PDB.
"Saya khawatir, bila stimulus yang diberikan terlalu kecil dan pemulihan ekonomi berjalan lambat maka industri apalagi sektor UMKM akan kehilangan pasar serta mengalami kesulitan modal. Terburuk, ancaman peningkatan jumlah pengangguran yang diperkirakan mencapai 10,7 juta hingga 12,7 juta orang pada 2021,” ungkap Suhaji dalam webinar di Jakarta, awal pekan ini.
Baca juga: Melalui RUU Cipta Kerja, Pemerintah Jamin UMKM Bisa Dirikan PT
Suhaji mendorong agar pemerintah dapat mempertimbangkan solusi khusus dibidang ekonomi yaitu memacu aktifitas sektor UMKM dan koperasi.
Caranya, melakukan integrasi kebijakan pembangunan UMKM dan Koperasi Indonesia berbasis produk unggulan lokal melalui tujuh visi Penguatan Ekonomi Nasional.
Ini didasari pertimbangan bahwa 99 persen populasi usaha, 97 persen lapangan kerja, serta 60 persen PDB adalah dari sektor UMKM dan koperasi.
Adapun ketujuh visi tersebut adalah pertama, melakukan resetting konsep pembangunan ekonomi rakyat ke arah sistem ekonomi yang lebih berkeadilan dan kekeluargaan dengan menempatkan koperasi sebagai penopang perekonomian Indonesia.
Kedua, menyiapkan pembiayaan pandemi (pandemic finance) bagi koperasi dan UMKM senilai Rp 500 triliun per tahun hingga dua tahun ke depan (2021-2022), dengan pola chanelling yang dijamin Lembaga Penjaminan, seperti Jamkrindo, Askrindo, dan lainnya.
Ketiga, harus dilakukannya pengembangan produk lokal unggulan dari hulu hingga ke hilir sebagai basis usaha koperasi dan UMKM.
"Penanganan dilakukan secara terintegrasi mulai dari produk pertanian, peternakan, perikanan, pengolahan, pemasaran, distribusi, hingga penjualan dan konsumsi,” jelas Suhaji.
Baca juga: Kemenkop: UMKM Digital Kunci Pemulihan Ekonomi Indonesia
Keempat, sinergi dan orkestrasi pembangunan ekonomi rakyat berbasis koperasi dan UMKM dengan seluruh kementerian dan seluruh stakeholders bisnis.
Kelima, disiapkan peraturan dan ketentuan pendukung pelaksanaan resetting dan perubahan pola pikir atau mindset pembangunan ekonomi rakyat.
"Ini berisi kebijakan umum, sistem dan prosedur pelaksanaan, reward and punishment yang tegas dan transparan melalui Dashboard Management System,” tutur Suhaji.
Keenam, peningkatan skala atai scale up usaha dan penguatan digitalisasi bagi koperasi dan UMKM, menuju terbentuk marketplace.
Ketujuh, membangun kemandirian dan daya saing ekonomi bangsa melalui gerakan jiwa kewirausahaan dan gerakan aku cinta produk Indonesia. Produksi Beli Gunakan Sendiri (gerakan PBGS).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.