Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Trump Positif Covid-19, Ini Proyeksi IHSG Pekan Depan

Kompas.com - 04/10/2020, 11:00 WIB
Kiki Safitri,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diproyeksikan akan bergerak sideways pada pekan depan. Sebelumnya IHSG ditutup pada zona merah pada level 4.926,73 atau turun 0,87 persen. Dalam sepekan, indeks telah turun 0,39 persen.

Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee mengatakan, sepekan kedepan pasar akan lebih volatile. Hal ini lantaran beberapa sentimen yang mempengaruhi, salah satunya adalah berita Presiden AS Donald Trump yang positif Covid-19.

“IHSG dalam sepekan kami perkirakan cenderung sideways di range yang lebar. Situasi politik AS bisa berubah bila kesehatan Trump memburuk. Popularitas Trump juga menurun karena dianggap terlalu lemah dalam mengatasi pandemi,” kata Hans, Minggu (4/10/2020).

Baca juga: Trump Positif Covid-19, Pasar Akan Fokus pada Stimulus Fiskal AS

Hans mengatakan, ini diyakini akan mempengaruhi peluang Trump untuk kembali di pemilu AS November mendatang. Namun, di sisi lain Trump tidak patah arang dan mungkin akan mengambil lebih banyak langkah keras terhadap China untuk menaikkan popularitas dan mempertahankan dukungan dari para pemilihnya.

“Hal ini meningkatkan risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan. Pelaku pasar tidak suka dengan hal ketidakpastian dan akan bergerak ke aset safe haven seperti emas, dollar AS dan yen (Jepang),” kata dia.

Pada debat pertama Trump dan calon dari Partai Demokrat Joe Biden diwarnai hujan interupsi. Perdebatan berputar pada permasalahan ekonomi AS, pencalonan Amy Coney Barrett di Mahkamah Agung serta penanganan pandemi Covid-19 di Amerika Serikat.

Sementara itu, peluang sengketa pemilu AS juga masih menjadi sentimen di pasar global. Pada debat tersebut, Trump mengatakan pemungutan suara melalui surat berpeluang terjadi kecurangan, namun pengamat mengatakan tidak ada bukti bahwa hal itu terjadi di Amerika Serikat.

“Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran tentang periode pasca pemilu,” jelas Hans.

Baca juga: Rincian Harga Emas Batangan Pegadaian di Akhir Pekan

Hans bilang, bila nanti Biden memenangkan pemilu, maka hal yang menjadi kekhawatiran pelaku pasar adalah pajak perusahaan mungkin akan naik dan peraturan yang lebih ketat. Kenaikan pajak dan peraturan yang ketat akan menekan laba korporasi yang berakibat valuasi saham menjadi lebih mahal.

Tetapi Biden dinilai dapat meredakan kekhawatiran tentang perang perdagangan dengan China dan banyak negara lain yang selama ini dilakukan oleh Trump. Perang dagang terbukti mengganggu pertumbuhan ekonomi dunia dan menimbulkan banyak kerugian bagi banyak Negara.

Selain itu, Hans menilai paket stimulus fiskal untuk mendongkrak ekonomi akibat Covid-19 yang selama ini gagal di sepakati partai Demokrat dan Republik lebih berpeluang di sahkan.

Di sisi lain, data ekonomi Amerika Serikat menunjukkan perlambatan pemulihan. Departemen Tenaga Kerja melaporkan nonfarm payrolls hanya meningkat 661.000 pekerjaan bulan September setelah naik 1,489 juta pada Agustus 2020.

Baca juga: Pinjaman Online Syariah Bebas Riba, Apa Saja Syaratnya?

Data ini di bawah ekspektasi Ekonom yang memperkirakan 850.000 pekerjaan untuk September. Ini menunjukan pemulihan pasar tenaga kerja AS melambat pada September. Penciptaan lapangan kerja masih jauh dari 22 juta pekerjaan yang di PHK sejak pandemi Covid-19.

Sementara itu, DPR AS menyetujui proposal Partai Demokrat Paket Stimulus Fiskal senilai 2,2 triliun dollar AS untuk memberikan bantuan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Ketua DPR Amerika Serikat, Nancy Pelosi dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin masih jauh dari kesepakatan paket bantuan Covid-19 di beberapa bidang utama, dan membuka peluang paket stimulus fiskal ini akan kembali terganjal atau gagal di Senat AS.

“Saat ini ekonomi Amerika Serikat sangat membutuhkan stimulus menyusul pemulihan ekonomi yang melambat. Bila paket Stimulus ini kembali gagal akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan,” ucap dia.

Baca juga: Persiapan Dana Darurat, Investor Berburu Reksa Dana Pasar Uang

Hans juga mengatakan, saat ini investor lebih memperhatikan saham dan obligasi Asia dibandingkan pasar Amerika Serikat. Hal ini karena AS sedang menghadapi risiko pemilu dan valuasi yang mahal. Investor menilai pasar Asia terlihat menarik karena pemulihan ekonomi, pendapatan yang kuat dan valuasi yang jauh lebih murah.

Berbeda dengan sebagain kawasan Asia, Indonesia dan Filipina dinilai masih belum dapat menjinakan pandemi Covid-19. Sebelumnya Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi -1,6 persen dari 0,0 persen di tahun 2020 dan tumbuh 4,4 persen dari 4,8 persen di tahun 2021.

Data yang keluar menunjukan selama tiga bulan berturut-turut sejak Juli, Agustus hingga September 2020 Indonesia mengalami Deflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi deflasi pada September 2020 di level 0,05 persen, sehingga terjadi deflasi selama triwulan III 2020.

Pada Juli terjadi deflasi sebesar 0,1 persen dan Agustus 0,05 persen. Tingkat inflasi dari tahun kalender berada di angka 0,89 persen dan secara tahunan (year on year) tingkat inflasi berada di level 1,42 persen.

“Deflasi merupakan tanda lemahnya daya beli masyarakat akibat pandemi Covid-19,” tegas dia.

Selama sepekan, IHSG akan bergerak pada level support 4.881 sampai dengan 4.754 dan resistance di level 4.991 sampai dengan 5.075.

Baca juga: Digugat Lessor, Garuda Indonesia Pilih Jalur Negosiasi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com