Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buruh Dibayar Lebih Rendah di RUU Cipta Kerja? Simak Penjelasannya

Kompas.com - 05/10/2020, 07:32 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja kini tinggal menunggu pengesahan di Paripurna DPR. Seluruh fraksi di DPR, kecuali PKS dan Demokrat, sudah setuju untuk meloloskan RUU paket omnibus law tersebut.

Salah satu poin yang ditolak serikat buruh yakni pasal RUU Cipta Kerja yang akan menghilangkan ketentuan terkait upah minimum sektoral. Penerapan upah sektoral selama ini dilakukan lewat penetapan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dan Upah Sektoral (UMSK).

Dengan dihapuskannya UMK, maka otomatis skema upah minimum akan menggunakan standar Upah Minimum Provinsi (UMP).

Sebagai informasi, dalam aturan skema upah minimum yang diatur dalam Pasal 88 dan Pasal 89 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah minimum terdiri dari UMK dan UMP.

Baca juga: Jadi Kontroversi, Apa Itu RUU Cipta Kerja?

Baik UMP dan UMK, ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota.

Penetapan UMK dan UMP didasarkan atas perhitungan Kebutuhan Layak Hidup atau KLH. KHL saat ini berlaku 60 item, sementara yang diusulkan oleh serikat buruh mencapai 78 item komponen.

Dijelaskan lebih lanjut di Pasal 90 UU Nomor 13 Tahun 2003, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan.

Sementara itu dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law BAB IV Ketenagakerjaan Bagian 2, disebutkan bahwa di antara pasal 88 dan pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disisipkan tujuh pasal yakni pasal 88A sampai 88G.

Baca juga: Masih Bingung Apa Itu Omnibus Law?

"Berdasarkan hasil keputusan tripartit, menyepakati upah minimum padat karya dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja, saya ingin menegaskan ini kabar baik dan harapan bagi pekerja dan serikat pekerja," jelas Ketua Baleg DPR RI Supraptman dalam keterangan resminya seperti dikutip pada Senin (5/10/2020).

Upah lebih rendah dengan UMP

Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar Cahyono, mengungkapkan terdapat pasal yang dinilai dapat merugikan buruh/pekerja. Pertama, pasal 88C. Kahar menilai bunyi pasal itu berarti menghilangkan upah minimum sektoral kabupaten/kota.

Artinya, buruh yang saat ini upahnya mengacu upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) atau upah minimum kabupaten/kota (UMK) akan dirugikan.

"Pasal 88 C. Upah Minimum hanya UMP gitu? Tidak ada UMSK," kata Kahar dikutip dari Kontan.

Sebagai perbandingan, UMK 2020 di Kabupaten Karawang Rp 4.594.324, Kota Bekasi Rp 4.589.708, Kabupaten Bekasi Rp. 4.498.961, dan Kota Depok Rp 4.202.105.

Kemudian pasal 88D ayat (1), disebutkan formula kenaikan upah minimum hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi. Artinya, penetapan formula ini lebih buruk daripada penetapan kenaikan upah minimum berdasarkan PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

Baca juga: Menko Airlangga: RUU Cipta Kerja Tidak Menghilangkan Hak Cuti

"Lah terus formula kenaikan cuma dikali ke Pertumbuhan Ekonomi? (Ini) Lebih buruk dari PP 78, yang kenaikannya berdasarkan inflansi dan pertumbuhan ekonomi," kata Kahar. Sebagai contoh, kenaikan UMP/UMK 2020 adalah 8,51 persen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com