JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo ( Jokowi) akhirnya merilis peryataan resmi setelah demo besar-besaran di sejumlah daerah terkait penolakan pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja di DPR.
Jokowi memaparkan beberapa alasan perlunya UU Cipta Kerja untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dengan menggairahkan iklim investasi yang masuk ke Indonesia.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini lalu menyinggung soal disinformasi atau hoaks terkait polemik UU Cipta Kerja. Penyebaran informasi yang keliru itu jadi salah satu pemicu demostrasi besar-besaran.
Namun demikian, pernyataan resmi Jokowi masih simpang siur karena belum menjawab tuntutan buruh selama demostrasi terkait beberapa revisi UU Ketenagakerjaan di omnibus law. Berikut dua penjelasan Jokowi yang masih simpang siur di UU Cipta Kerja.
Baca juga: Mengenal Proyek Sawah yang Dikunjungi Jokowi Saat Puncak Demo
1. PHK dan pesangon
Jokowi menyinggung soal kabar yang beredar bahwa UU Cipta Kerja mengizinkan perusahaan untuk melakukan pemecatan sepihak tanpa alasan jelas. Menurut dia, UU Cipta Kerja tetap mengatur apa saja batasan perusahaan ketika melakukan PHK.
"Kemudian apakah perusahaan bisa mem-PHK kapan pun secara sepihak? Ini juga tidak benar, yang benar perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak," kata Jokowi dalam keterangan resminya seperti dikutip pada Minggu (11/10/2020).
Serikat buruh sendiri memprotes perubahan aturan terkait PHK di Pasal 154A di mana pemerintah membolehkan perusahaan untuk melakukan PHK kepada karyawan dengan 14 alasan.
Serikat buruh mengkhawatirkan, aturan PHK dalam Omnibus Law Cipta Kerja ini akan membuat posisi pekerja semakin lemah. Ada perubahan dalam aturan PHK jika dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan dan bisa berimplikasi pada jumlah pesangon yang akan diterima karyawan yang terkena PHK.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan Isi Lengkapnya
Dikutip dari draf RUU Cipta Kerja, perusahaan bisa melakukan PHK dengan alasan efisiensi. Lalu perusahaan juga bisa melakukan PHK dengan alasan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan. Dua alasan tersebut sebelumnya tak tercantum di UU Ketenagakerjaan.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.