Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Singgung UU Cipta Kerja, Hotman Paris Beberkan Susahnya Buruh Tuntut Pesangon

Kompas.com - 11/10/2020, 10:46 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengacara kondang Hotman Paris angkat bicara terkait polemik disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja yang memicu kontroversi. Baik pemerintah maupun DPR, sampai saat ini belum merilis draf final UU Cipta Kerja.

Menurut Hotman, berdasarkan pengalamannya puluhan tahun menjadi advokat, permasalahan yang sering dihadapi pekerja atau buruh adalah sulitnya menuntut hak pesangon.

"Terlepas setuju atau tidak omnibus law, dalam 36 tahun pengalaman saya menjadi pengacara. Masalah yang dihadapi buruh adalah dalam menuntut pesangon, karena prosedur hukumnya sangat panjang," ucap Hotman dikutip dari akun Instagram resminya, Minggu (11/10/2020).

Selama ini, banyak kasus perusahaan yang tidak membayarkan hak pesangon sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Namun pekerja korban PHK dihadapkan pada kondisi sulit karena prosedur menuntut pesangon hingga sampai ke pengadilan bukan perkara gampang.

Baca juga: 3 Manfaat UU Cipta Kerja untuk Rakyat Seperti yang Diklaim Jokowi

Tuntutan pesangon hingga ke meja pengadilan seringkali terpaksa ditempuh pekerja korban PHK karena selama ini Kementerian Ketenagakerjaan maupun Dinas Ketenagakerjaan di daerah umumnya tak banyak membantu menekan perusahaan.

Di sisi lain, untuk menuntut hak pesangon ke pegadilan, butuh pengacara yang memakan biaya yang tak sedikit. Itu pun belum tentu putusan pengadilan memenangkan pekerja korban PHK.

"Dimulai dengan kalau majikan menolak lalu melalui dewan pengawas Depnaker (Departemen Tenaga Kerja). Depnaker tidak punya power hanya berupa syarat, mau tidak mau si buruh harus ke pengadilan," ungkap Hotmen.

"Di pengadilan bisa sampai peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA), bayangkan bayar honor pengacara berapa, bisa-bisa honor pengacara lebih besar daripada pesangonnya," kata dia lagi.

Baca juga: Ini 2 Penjelasan Jokowi yang Masih Simpang Siur di UU Cipta Kerja

Ia berujar, terlepas apakah besaran pesangon mengacu pada aturan lama yakni UU Ketenagakerjaan ataupun direvisi di UU Cipta Kerja, pemerintah juga seharusnya prioritas memastikan pekerja atau buruh korban PHK mendapat pesangonnya sesuai aturan yang berlaku.

Contohnya, lanjut Hotman, pemerintah bisa mengeluarkan aturan yang memudahkan dan mempersingkat pengajuan tuntutan hak pesangon bagi pekerja korban PHK di pengadilan.

"Itulah masalah utama yang dihadapi buruh. Sementara si buruh tidak punya kemampuan beracara di Pengadilan. Jadi rubah hukum acaranya, persingkat itu kalau mau menolong buruh," tegas Hotman.

Sebagai informasi, salah satu pasal kontroversial dalam UU Cipta Kerja adalah besaran uang pesangon bagi karyawan korban PHK yang dinilai menyusut. Besaran pesangon terbaru itu diatur dalam Pasal 156 UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Baca juga: Marak Hoaks Karena UU Cipta Kerja Tak Bisa Diakses Publik

Pasalnya, pemerintah dan DPR sepakat untuk mengubah besaran nilai maksimal pesangon yang didapatkan pekerja menjadi sebesar 25 kali upah yang terdiri atas 19 kali upah bulanan buruh, serta 6 kali jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).

UU Cipta Kerja, pasal mengenai tambahan pesangon yang didapatkan pekerja bila perusahaan melakukan efisiensi dihapus. Ini berbeda dengan pasal yang ada di UU Ketenagakerjaan yang mewajibkan membayar pesangon lebih besar jika PHK dilakukan dengan alasan efisiensi.

Berikut aturan rincian uang pesangon yang diterima pekerja dalam UU Cipta Kerja:

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com