Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Agenda Koperasi Pasca-Omnibus Law

Kompas.com - 13/10/2020, 11:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETELAH disahkan kemarin, nantinya pendirian koperasi cukup sembilan orang. Meski jumlah minimum itu masih lebih besar dari yang diusulkan yakni tiga orang, namun sudah cukup baik dan dapat memberi efek kejut. Dengan penurunan drastis syarat jumlah pendiri memberi pesan bahwa ada upaya nyata untuk mempermudah masyarakat mendirikan koperasi.

Pada Mei 2020 yang lalu, Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI) pernah membuat jajak pendapat online yang diikuti 1.002 partisipan. Jajak pendapat itu menemukan beberapa hal. Salah satunya top of mind orang Indonesia memandang koperasi, secara berurutan adalah usaha bersama, simpan-pinjam, gotong royong, kewirausahaan dan demokrasi ekonomi.

Dari 1.002 partisipan, 33 persennya bukan anggota/pengurus/karyawan koperasi. Sebagian besar partisipan adalah anggota koperasi, 41 persen dan sisanya 26 persen sedang menjabat sebagai pengurus/pengawas/karyawan.

Ada satu pertanyaan yakni mengapa mereka tidak tertarik mendirikan koperasi, tiga besar alasan partisipan adalah tidak memahami model koperasi, butuh banyak orang (20 orang) dan tidak memiliki modal. Dalam hal ini, paling tidak omnibus law telah menjawab satu masalah, butuh banyak orang.

Studi komparasi yang saya lakukan menemukan perbedaan syarat dalam pendirian koperasi di berbagai negara. Kanada yang menyaratkan minimal tiga orang, Afrika lima orang, kemudian Nigeria 6, 10, 20, 50 orang tergantung sektor koperasinya. Jamaika cukup 10 orang, India 10 dan 50 orang, tergantung wilayah operasinya. Lalu Singapura 5 dan 10 orang tergantung sektornya. Ada juga Australia dan Uni Eropa sama yaitu 5 orang dan Malaysia 10 orang.

Jumlah itu berbeda-beda tergantung kebijakan tiap negara dengan berbagai pertimbangan masing-masing tentunya. Sedangkan dulu Indonesia pernah 25 orang (UU 1958 dan 1965), kemudian berubah menjadi 20 orang (UU 1967, 1992, 2012, 1992). Lalu sekarang per 2020 menjadi 9 orang. Yang sekarang tujuannya agar lebih mudah sehingga koperasi bisa tumbuh massif dan organik di masyarakat.

Baca juga: Ini 6 Keuntungan yang Diberikan UU Cipta Kerja untuk UMKM dan Koperasi

Proyeksi

Selain dari jumlah, omnibus law ini juga mengatur penyelenggaraan Rapat Anggota yang bisa dilakukan secara online. Saya pikir pandemi korona ini telah memaksa perilaku berubah bagaimana semua hal: pekerjaan, transaksi, belajar dan aktivitas lainnya dapat diselenggarakan secara online. Hal itu akan makin mudah lagi bila pendirian koperasi juga dapat dilakukan secara online.

Dengan kemudahan itu, saya memproyeksikan akan banyak tumbuh koperasi-koperasi primer nasional yang diinisiasi dari berbagai kota/kabupaten di Indonesia. Dulu membuat koperasi primer nasional sangat terkendala dengan syarat minimum anggota tiga provinsi dan jumlah 20 orang. Dengan pelaksanaan secara online, hal itu bisa dengan mudah dilakukan.

Peluang konsolidasi keanggotaan lintas daerah ini bisa menjadi modalitas besar bagi koperasi. Anggota dari daerah yang lebih maju dapat berkontribusi lebih besar daripada yang moderat atau rendah. Analogi sederhananya begini. Bagi anggota dari wilayah dengan standar upah tinggi, melakukan partisipasi modal Rp 500.000 per bulan itu bisa dianggap wajar. Hal itu bisa dianggap sangat besar bagi anggota dari wilayah dengan standar upah yang lebih rendah.

Koperasi sebagai asosiasi orang, maka modalitas orang-orang beda wilayah itu bisa dibaca dalam skema solidaritas untuk tumbuh bersama. Sebab orang yang menjadi simpul utama, maka secara imanen modalitasnya juga bergantung pada apa-apa yang melekat pada orang-orang tersebut. Misalnya latar belakang sosial-ekonomi, domisili kota/kabupaten dan sebagainya.

Peluang adanya solidaritas seperti itu sesungguhnya telah diatur oleh prinsip koperasi pertama, "Keanggotaan bersifat terbuka dan sukarela bagi semua orang yang merasa dapat mengakses layanan dan manfaat koperasi".

Proyeksi kedua, dengan kemudahan itu akan banyak anak-anak muda mendirikan koperasi dalam berbagai varian baru. Koperasi pekerja atau worker coop bakal tumbuh, di saat yang sama banyak pengangguran karena pandemi. Lalu jenius-jenius kreatif juga akan mulai melirik koperasi startup atau startup coop sebagai alternatif.

Model koperasi platform atau platform coop juga akan bermunculan. Ditambah koperasi komunitas atau community coop yang berbasis sektor kreatif juga akan tumbuh pesat.

Saya merasakan zeitgeist atau semangat zamannya memang telah tiba. Dulu, sekira 10 tahun lalu, mengintrodusir koperasi pekerja—berbeda dengan koperasi karyawan/buruh—itu lebih sulit daripada sekarang.

Sekarang gagasan/diskursus itu cenderung mudah diterima oleh generasi milenial dan pasca milenial. Ada gairah besar berkoperasi dari anak-anak muda di zaman ini daripada sebelumnya. Saya menduga media sosial berpengaruh besar dalam diseminasi informasi, inspirasi dan insight.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com